Katoliknews.com – Nama Suster Maria Yosephina Pahlawati SSpS tidaklah asing bagi warga di Labuan Bajo, juga di banyak kampung di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dalam beberapa tahun terakhir, anggota Kongregasi Suster Misi Abdi Roh Kudus (Servae Spiritus Sanctus) ini kerap mengunjungi warga di kampung-kampung, termasuk dengan berjalan kaki, untuk memberi penyadaran tentang sejumlah isu.
Beberapa di antaranya adalah bagaimana melawan kekerasan dalam rumah tanggah dan mewaspadai praktek perdagangan orang atau human trafficking yang kini masih marak terjadi di wilayah NTT.
Sebagai Kordinator JPIC Kongregasi SSpS di Flores Barat, ia memang mendapat tugas untuk mengkoordinasi berbagai aksi kemanusiaan.
Selain sosialisasi, salah satu yang kini menjadi tanggung jawabnya adalah Rumah Singgah St Theresia, sebuah shelter bagi para perempuan korban kekerasan.
Di tempat inilah, para korban menemukan harapan untuk bisa keluar dari belenggu soal yang mereka hadapi.
“Dalam pelayanan, kami tidak melihat latar belakang agama. Tidak hanya melayani mereka yang Katolik, tetapi juga dari agama lain seperti Muslim,” katanya.

Dalam beberapa tahun terakhir, ia misalnya ikut membantu gadis-gadis asal Jawa yang hendak dipekerjakan sebagai wanita penghibur di Labuan Bajo, daerah yang kini berkembang menjadi kota pariwisata, dengan ratusan ribu wisatawan setiap tahun.
Banyak gadis-gadis ini yang dijebak. “Setelah mereka tahu tempat kami, mereka datang dan memohon perlindungan,” katanya.
Bekerja sama dengan polisi, beberapa gadis asal Jawa, jelasnya, dibantu untuk dipulangkan ke keluarga mereka.
Kasus Terus Terjadi
Ia mengatakan, kasus-kasus kekerasan saat ini tidak berkurang. Tahun ini saja, ada enam kasus yang mereka tangani, 5 diantaranya kasus kekerasan dalam rumah tangga dan satu kasus pelecehan seksual.
Semua kasus ini, kata dia sudah ditangani, bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Manggarai Barat dan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Manggarai Barat.
Dalam penanganannya, kata dia, ada sejumlah hal yang mereka lakukan, yakni melakukan konseling untuk pemulihan secara batin, melakukan meditasi untuk mengeluarkan semua beban mereka alami dan pemberdayaan.
Yang dimaksud pemberdayaan bermacam-macam, antara lain melatih korban membuat tempe, rosario, serta menghias lukisan dan bertani.

“Tujuannya agar mereka bisa bangkit kembali menjadi diri sendiri, tampil lebih berani,” kata Sr Yosephina.
“Selain itu, ketika mereka kembali ke rumah, mereka dapat mempraktikan serta membuka usaha dari apa yang mereka pelajari selama berada bersama kami,” lanjutnya.
Sr Yosephina menambahkan untuk pelaku kekerasan, mereka menyerahkannya kepada polisi untuk diproses sesuai hukum.
Ia telah membantu hampir 100 orang korban perdagangan manusia, belasan korban kekerasan seksual, 14 gadis yang hamil di luar nikah, dan 15 korban kekerasan dalam rumah tangga. Ada juga dari antara mereka yang terinfeksi HIV dan karena itu dijauhi keluarga.
Banyaknya kasus membuat istirahat malam Sr Yosephina tidak selalu bisa tenang. Kerapkali kali ia dibangunkan tengah malam untuk membantu mereka yang sedang mencari bantuan.
“Kami memutuskan selalu siap sedia hadir untuk mereka,” katanya.
Menjangkau Kaum Muda
Dalam rangka menanamkan kesadaran melawan kekerasan dalam diri generasi muda, Sr Yosephina ikut menggagas berbagai kegiatan kampanye di ruang publik pada momen-momen tertentu.
Untuk menyebut beberapa contoh, pada Maret tahun lalu, ketika Labuan Bajo digegerkan dengan penemuan mayat seorang wanita di dekat kota, ia mengumpulkan anak-anamk muda dalam acara doa sambil membakar lilin dan mengingatkan mereka agar waspada dengan praktek kekerasa.
Saat Januari lalu di Manggarai Barat terjadi wabah demam berdarah, Sr Yosephina menggerakkan elemen sipil membersihkan sampah dan genangan air tempat jentik nyamuk berkembang biak.
Demikian pula saat terjadi bom di Gereja dan hotel di Sri Lanka pada Minggu Paskah lalu yang menewaskan 250 orang dan melukai ratusan lainnya.

Ia mengumpulkan anak-anak muda dan tokoh agama dalam acara seribu lilin, menyampaikan turut berduka dan komitmen melawan kekerasan, hal yang tentu relevan dengan konteks Labuan Bajo yang cukup heterogen, termasuk dari segi agama.
Uluran Tangan
Ia mengatakan, sejak awal diutus ke Labuan Bajo oleh Kongregasinya pada 2007, ia mengaku semuanya mulai dari titik nol. Namun, ia menyatakan bertekad berkarya di bidang ini dengan modal dedikasi hati yang tinggi.
Dalam menjalani karya ini, ia merasakan uluran orang-orang yang peduli.
Rumah Singgah St Theresia, misalnya, berhasil dibangun pada 2016 dengan bantuan dana kemanusiaan dari Harian Kompas, di tengah doanya agar suatu saat para korban memiliki rumah tersendiri.
“Saya sungguh merasa ada kebahagian tersendiri ketika ada bangunan fisik untuk para korban yang kami dampingi,” katanya.
“Sejak ada rumah ini ada begitu banyak kasus yang kami dampingi.”

Ia menyatakan, sejak empat tahun lalu, mereka juga dibantu oleh lembaga donor Katolik asal Belanda, Mensen Met een Missie, khususnya untuk isu human trafficking.
Ia menyatakan, dalam tugas ini, tantangan tentu selalu ada, termasuk kelelahan fisik dan psikis sebagai manusia.
“Tetapi kami berusaha agar misi ini tetap berjalan dengan baik. Kami berkomitmen terus-menerus menyalakan api kebaikan,” katanya.
“Ini adalah bagian dari panggilan Tuhan untuk keluar dari zona nyaman dan menjangkau sesama saudara yang menderita,” tambahnya.
Jika Anda tertarik mengenal lebih jauh Sr Yosephina atau tergerak membantu karyanya bersama para suster-suster lain, silahkan menghubunginya via Facebook, dengan langsung mengklik di sini atau mengunjungi Rumah Singgah St Theresia di Labuan Bajo.
Komentar