Oleh: RP DESIDERAMUS ANSBI BAUM, OFM
Karena dalam Bacaan Injil Matius 13:1-23, Yesus sudah menjelaskan isi perumpamaan-Nya, saya tidak berani menafsirkannya lagi. Saya ingin mengajak saudara-saudari merenungkan aspek lain yang dikatakan Yesus dalam bacaan ini, ‘Barangsiapa bertelinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengarkan!
Tak ada yang berani berkata, telinga tak berguna. Seperti panca indera lainnya, telinga menjadi jendela bagi akal budi dan rasa perasaan, bagi pikiran dan pengalaman manusia. Mendengar yang merdu, kita berdecak kagum: ‘Wah indahnya ’. Mendengar yang jelek, manusia berujar: ‘ah, buruk sekali’. Memang, telinga seperti panca indera lain mampu mengantar manusia tidak hanya pada kesadaran, penilaian, dan pengertian, tetapi juga pada pemahaman, kepercayaan dan keyakinan.
Tentu kisah berikut sering kita dengar. Seorang tuli yang sedang memancing, ditanya temannya, “sedang mancing, kah?” Ia menjawab, “Tidak. Saya sedang mancing”. Begitulah komunikasi bisa ngawur dan tidak berjalan sebagaimana mestinya manakala kita tidak mampu mendengar dengan baik. Dan kalau komunikasi tidak baik, pengertian dapat keliru dan karena itu keyakinan kita akan sesuatu pun bisa tidak terarah. Sementara itu, untuk orang yang acuh tak acuh pada nasihat, kata-kata dan ajaran, kita punya ungkapan tertentu: “masuk telinga kanan, keluar telinga kiri”. Orang yang diteriaki kalimat seperti itu adalah orang yang kita anggap sulit diberi nasihat, yang tidak taat dan tidak patuh.
Di hadapan Sabda Allah yang terus-menerus diwartakan, terus menerus diperdengarkan, seringkali kita pun berlaku seolah-olah seperti orang yang tuli dan bahkan acuh-tak acuh. Tidak mau mendengar warta Injil atau kita tidak terlalu peduli mendengar kehendak Allah, karena merasa semuanya itu tidak relevan, kurang penting dan tidak banyak gunanya untuk kelangsungan hidup di dunia. Firman Allah tidak banyak membantu untuk menjalani hidup ini, tidak membantu menghasilkan uang, tidak membantu menyelesaikan berbagai persoalan di dunia. Karena itu sebaik-baiknya Firman Allah dan kehendak-Nya tidak perlu terlalu didengarkan (Mat 13:19-22).
Tetapi, Tuhan hari ini mengajak kita untuk sebaik-baiknya memanfaatkan telinga guna mendengar kehendak Bapa. Sebab melalui telinga juga, kita dapat memperoleh pengertian dan kebijaksanaan. Dengan pintu telinga, pengenalan kita akan kehendak Allah pun dapat terjadi. Kepekaan inderawi, kepekaan telinga dapat mengasah kepekaan batin kita untuk memahami kehendak Allah dalam setiap peristiwa hidup: “sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah Ibu-Ku” (Mat 12:50).
Dalam rangka itu, di manapun, kita dapat mendengar kehendak Allah, sejauh kita mau mendengarkan kebijaksanaan yang ditawarkan orang lain, diberikan alam semesta dan dalam Sabda Allah (Kitab Suci) sendiri. Inilah syarat pertama dalam hidup beriman: mendengarkan. Hanya kadang-kadang kita tidak sabar. Kita cenderung mau langsung mengerti atau seolah-olah sudah memahami kehendak Allah pada orang lain, pada semesta dan sudah mengerti isi kitab suci. Kita lupa bahwa: ‘iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus’, begitu kata Rasul Paulus (Rom 10:17).
Semoga kita mampu meluangkan waktu untuk mendengarkan orang lain, mendengarkan alam semesta dan Sabda Allah agar kita mampu memahami kehendak Allah yang terjadi dalam setiap peristiwa hidup kita. Dengan demikian kita dapat menjadi tanah yang subur yang menghasilkan panenan seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat (Mat 13:23).
Penulis adalah seorang imam Fransiskan, melayani umat di Meratus, Kalimantan Selatan
Komentar