Oleh: RP DESIDERAMUS ANSBI BAUM, OFM
Banyak orang sering membayangkan Allah hanya sebagai yang agung, perkasa, yang akbar, yang melaksanakan karya-karya ajaib dan luar biasa. Yang dilupakan adalah sisi lain dari Allah itu. Bahwa Ia telah masuk dalam ruang dan waktu, dalam sejarah manusia dan dunia. Bahwa Ia telah berinkarnasi: berdiam dalam kerapuhan dan kefanaan dunia manusia. Ia menjadi daging, sama seperti kita, menyapa kita sebagai sahabat dan saudara.
Maka, berabad-abad lalu, di kota yang dikelilingi bukit indah, di lembah yang menawan dan dihuni oleh cerita tentang kemewahan, cerita tentang keagungan para ksatria, St Fransiskus Assisi – Sang Nabi Masa Kini – itu datang memberi peringatan.
Nabi itu, tanpa melupakan Allah yang agung, maha kuasa, maha baik dan seluruhnya baik, memperingatkan terus-menerus bahwa Allah, karena kebaikan dan kelimpahan cinta kasih-Nya telah menjadi manusia, masuk dalam sejarah manusia dan dunia: Ia lahir di kandang yang hina sebagai anak kecil yang sepenuhnya tergantung pada orangtua.
Allah itu juga berkelana sebagai perantau yang tak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya, mengajar sebagai guru yang sederhana, hidup tanpa jaminan kuasa, mati di kayu salib seperti penjahat, juga berdiam dalam diri kita melalui Roti Ekaristi yang kelihatannya rapuh, kecil dan tak berharga.
Tentang Allah yang ‘menjadi’ Roti itu, Sang Nabi menulis, “O Keagungan yang mengagumkan dan kesucian yang menakjubkan! O perendahan diri yang luhur! O kerendahan yang merendah! Tuhan semesta alam, Allah dan Putra Allah, begitu merendahkan diri-Nya, sampai Ia menyembunyikan diri di dalam rupa roti yang kecil, untuk keselamatan kita!”
Nabi itu memang tak ingin memberi definisi, batasan yang jelas soal Allah itu, bukan karena ia tak pandai merumuskan kalimat, tetapi terutama karena ia sadar bahwa Allah itu tidak hanya kecil tetapi juga Ia sekaligus akbar, tidak hanya rapuh tetapi sekaligus perkasa, sederhana sekaligus agung. Hakikat yang satu tak pernah boleh melupakan yang lain, sifat yang lain tak pernah boleh melupakan yang satu.
Penekanan pada Allah yang akbar dengan mengabaikan kenyataan bahwa Allah telah menyejarah membuat manusia, kita-kita ini, tidak mampu melihat bahwa pengalaman kita, sejarah dunia adalah juga sejarah Allah.
Dengan hanya meyakini bahwa Allah adalah Dia yang berada di atas sana, jauh dari hiruk pikuk dunia, membuat kita memperlakukan sesama dan alam semesta sebagai melulu orang dan benda-benda, seolah-olah tanpa kehadiran Yang Ilahi di dalamnya. Dan hal itu, oleh Santo Bonaventura disebut sebagai berhala: hanya mengagumi ciptaan tanpa sampai kepada Penciptanya. Berhenti hanya melihat benda-benda dan manusia tanpa melihat bahwa benda-benda (dan manusia) terhubung dengan Yang Ilahi.
Maka ketika Allah itu hadir juga dalam rupa roti dan anggur, sebenarnya mau menegaskan kepada kita bahwa dalam alam semesta, dalam hasil bumi dan kerja-karya manusia sudah terserap dan teresap daya ilahi. Bahwa keaguangan-Nya terletak dalam kerendahan-Nya yang mau meresapi segalanya dengan daya ilahi. Bahwa bumi dan hasil-hasil bumi yang terlahir dari rahimnya adalah sakramen: tanda kelihatan dari Allah yang tak kelihatan. Dunia dan medan sejarah di dalamnya adalah sakramen; tanda dan sarana cinta kasih keselamatan Allah.
Bayangkan. Ketika kita mampu melihat bahwa segalanya adalah medan keselamatan Allah, bahwa dalam segalanya kita dapat berjumpa dengan Allah, betapa suci, murni dan mengagumkan hidup itu, betapa indah dunia ini, betapa luhur dan mengagumkan sejarah, pengalaman-pengalaman di dalamnya, betapa baik dan sungguh amat baiklah dunia ciptaan dan manusia itu.
Dan Perayaan Ekaristi yang kita rayakan hari ini dan setiap kali kita merayakannya adalah perayaan kosmis, perayaan semesta, sebab merangkum seluruh sejarah dunia dan manusia, merangkum hasil bumi dan hasil karya manusia, merangkum bumi dan manusia.
Sekaligus karena Allah ada di dalamnya, maka perayaan itu menjadi juga kesempatan (puncak) bagi kita untuk menikmati ke-Allah-an itu, mengalami Allah di dalamnya dan dengan itu kita sejenak di-ilahi-kan. Atau, demikian Sang Nabi menulis, “Dalam Dia (Tubuh dan Darah Mahakudus Tuhan Kita Yesus Kristus) segala sesuatu yang ada di surga dan di bumi diperdamaikan dan dipersatukan kembali dengan Allah yang Mahakuasa.”
Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus (yang hadir dalam rupa roti dan anggur) ini mengingatkan kita akan betapa berharganya hal-hal yang mungkin kita anggap remeh temeh, pengalaman-pengalaman, sejarah, benda-benda, alam semesta, dunia dan manusia. Harga dan keluhurannya terletak pada keyakinan bahwa Allah sudah masuk dalam sejarah itu, bahkan dalam roti dan anggur.
Tentu saja, karena itu Allah juga dapat dialami dalam kopi, dalam sandal, dalam cangkul, dalam batu, dalam baju, dalam rumah, di sawah, di ladang, pada manusia, dalam segalanya. Sebab, Allah menjadi semua di dalam semua (1 Kor 15:28).
Tetapi, kita juga mesti segera ingat bahwa segalanya belum sempurna, bahwa kita belum sepenunya berjumpa dengan Allah. Kita hanya bisa menikmati-Nya secara sederhana, sedikit. Kita hanya menikmati roti para peziarah.
Tetapi, itulah kekuatan kita untuk menjalani hidup ini; bahwa Allah tidak jauh dari dunia, tidak hanya tinggal di surga, tetapi Ia menemani kita. Allah merendahkan diri dan karena itu beserta kita.
Allah itu menjadi bagian dari diri saya, menjadi darah dari darahku, daging dari dagingku. Allah yang karena kasih memberikan diri-Nya dalam roti Ekaristi: tidak hanya mati di kayu salib, tapi juga memberikan dirinya dalam wujud tubuh dan darahnya.
Kalau iman dihayati seperti itu, mungkin sejarah hidup kita dan cara kita memandang dan bergaul dengan dunia agak sedikit lain, berbeda. Dan bagaimana kita memiliki iman seperti itu? Sang Nabi yang berasal dari Assisi itu berkata: “Saudara-saudara pandanglah perendahan diri Allah itu dan curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya. Rendahkanlah dirimu agar kamu ditinggikan oleh-Nya” (SurOr).
Dengan melihat perendahan diri Allah itu, kita tidak akan mengganti Allah dengan benda-benda, dengan manusia, dengan kuasa dan uang serta kesombongan pengetahuan. Kita dipanggil untuk menjadi sederhana dan rendah, yang melihat bahwa Allah tidak lagi jauh, tidak lagi harus diteriaki, tidak lagi melulu akbar. Bahwa, segalanya berada dalam Allah. Jika keyakinan kita tidak sampai ke sana, berbahaya iman itu!
Penulis adalah Ketua Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Keuskupan Banjarmasin
Komentar