Oleh: Cecillia Octavianni Raharjo
Katoliknews.com – Sekitar 77 tahun yang lalu, tepatnya pada 21 Februari 1943, lahirlah seorang bayi laki-laki di keluarga yang sederhana, di sebuah kampung kecil di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Bayi itu kemudian diberi nama Hilarius Moa Nurak yang berarti “yang muda, riang dan dikasihi Tuhan.”
Ibunya – Bernadetta Modesta Gobang – telah membuat Hila tumbuh menjadi anak yang ceria, rajin, dan rendah hati. Di sisi lain, bapaknya – Ignasius Paulus Paoe– adalah sosok yang tegas, tetapi perhatian pada kehidupan Hila.
Bapaknya telah menumbuhkan iman katolik yang sangat kuat dalam diri Hila. Ia membuka jalan bagi Hila dengan memperkenalkan kepadanya seminari Mataloko di kabupaten Ngada, NTT, tempat dulu bapaknya bersekolah.
Di situlah titik balik kehidupan Hila. Setelah mendengar cerita bapaknya, Hila kecil yang malas belajar dan sering kabur dari tempat asramanya menjadi rajin dan giat belajar.
Ketekunan itu mengantarkan Hila ke gerbang seminari Mataloko, tempat ia pertama kali mulai belajar untuk menjadi gembala umat.
Tetapi, di tengah perjalanannya di seminari, ia menerima kabar yang menyayat hati. Ibunya, yang menjadi sumber kekuatan dan inspirasi dalam perjalanan panggilannya, dikabarkan meninggal dunia.
Hila marah, ia sedih dan protes kepada Tuhan. Mengapa Tuhan tidak adil padanya?. Namun, keyakinan dan doa telah menyadarkannya. Semua kejadian dalam hidup adalah bagian dari rencana besar Tuhan. Maka Hila pun pasrah. Saat itu ia hanya percaya Tuhan pasti punya rencana terbaik untuk dirinya.
Ia pun terus berusaha dan berhasil menyelesaikan pendidikan menengah di seminari Mataloko. Ia pun memilih masuk Kongregasi Serikat Sabda Allah dan ditahbiskan menjadi imam pada 2 Agustus 1972. Kemudian, dia ditahbiskan menjadi Uskup Pangkalpinang pada 2 Agustus 1987. Jumat, 29 April 2016, Mgr. Hila wafat di Singapura setelah sekitar dua minggu melakukan perawatan intensif.
Uskup Seribu Pulau
Mgr. Hila dikenal sebagai Uskup Seribu Pulau karena wilayah keuskupannya memang terdiri dari tiga provinsi kepulauan: Bangka Belitung, Kepulauan Riau (Kepri) dan sebagian Riau. Luas wilayah keuskupan itu lebih dari 270,000 km2, daratannya hanya sekitar 35,500 km2.
Setiap hari Mgr. Hila mengunjungi umatnya mengarungi lautan luas. Ia menggalakkan Komunitas Basis Gerejawi sebagai arah perahu kegembalaannya, guna mengimplementasikan visi Gereja Partisipatif hasil Sidang Pleno Uskup se-Asia tahun 1990 di Bandung.
Pada 2017, Keuskupan Pangkalpinang meluncurkan buku berjudul “Mata Sang Guru,” yang menyajikan potret lengkap tentang sosok Mgr. Hila sejak kecil, sebagai frater dan imam, dan sebagai Uskup Pangkalpinang.
Sosok Sederhana
Kita dapat belajar banyak hal dari kepribadian Mgr. Hila. Ia dikenal sebagai sosok sederhana, pendidik sejati, ramah, rendah hati, dan tegas bila diperlukan.
Menurut kesaksian beberapa umat yang pernah bertemu langsung dengan Mgr. Hila, ia adalah sosok yang rela menyeberangi ganasnya lautan dengan berbekal sampan kayu kecil demi mengunjungi umat sederhana, yang tempat tinggalnya tidak terdeteksi di peta.
Seorang umat Katolik di Batam, Thomas Wolokole mengenang almarhum sebagai uskup yang konsisten menerapkan hidup sederhana, bahkan terlalu sederhana untuk ukuran seorang pemimpin umat.
Thomas Wolokole, asal Maumere, NTT mencontohkan, ketika berjumpa dengan uskup Hila di dalam mobil angkutan umum jurusan Dapur 12-Jodoh ketika berangkat dari gereja di Tembesi menuju Gereja Santo Petrus Batam.
Selain itu, Mgr. Hila dikatakan sosok yang sederhana karena ia rela mengunjungi stasi yang dihuni oleh sembilan kepala keluarga dengan menumpang pompon dan ojeg. Padahal, jarak stasi tersebut ratusan mila dan saat itu uskup Hila sudah lanjut usia.
Mgr. Hila adalah sosok yang jarang marah, namun ia menekankan untuk selalu disiplin, bukan hanya disiplin waktu, tetapi juga disiplin ilmiah dan rohani.
Belajar Percaya dari Uskup Hila
Di masa pandemi ini, kita dapat mengimplementasikan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh Mgr. Hila. Pada saat ibunya meninggal, Mgr. Hila yang saat itu masih kecil merasa marah dan protes kepada Tuhan. Namun pada akhirnya ia tetap percaya pada rencana Tuhan. Dan akhirnya ia berhasil melalui berbagai proses hingga menjadi uskup.
Sikap percaya itulah yang kita butuh saat menghadapi kesusahan akibat pandemi Covid-19. Mungkin ada dari kita yang kehilangan keluarga, ada yang ekonominya memburuk akibat pandemi. Kita mungkin bertanya, “Mengapa hal ini terjadi pada saya? Mengapa Tuhan tidak memberikan musibah ini pada orang lain? Di mana Tuhan saat saya sedang berkesusahan?” Jawabannya hanya satu yaitu PERCAYA.
Ada banyak lagi hal yang dapat mengguncangkan sikap percaya kita, terlebih jika kita hanya “mampu” melihat apa yang tampak di permukaan. Tak dapat disangkal, terjadi banyak krisis, kehilangan, penderitaan, dan keputusasaan sebagai dampak dari pandemi Covid-19.
Satu krisis menuntun kepada krisis yang lain. Tidak hanya dalam segi kesehatan, pandemi ini juga membawa kesuraman dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, bahkan HAM.
Ada kecenderungan terjadinya peningkatan angka kriminalitas dan kekerasan selama dan sebagai akibat dari lockdown atau PSBB. Belum lagi, ada banyak keluarga yang terancam mengalami perpecahan sebagai akibat dari krisis keuangan, mental, atau relasi yang terjadi karena pandemi global ini.
Semua terkena dampak mengerikan akibat virus ini. Dan, dengan menggunakan rasio, rasanya tak heran bila banyak orang mulai mempertanyakan Tuhan di tengah-tengah situasi saat ini.
Namun, di sisi lain, ketika kita meragukan Tuhan dan kuasa-Nya, dapat dipertanyakan pula seberapa besar kita sebagai orang percaya mengenal Tuhan sebagai pribadi yang kita sembah.
Keraguan atau bahkan penghakiman kita kepada Tuhan justru memperlihatkan kekerdilan iman dan pengenalan kita akan Tuhan. Benarkah kita, dengan demikian, sudah sungguh mengenal Tuhan atau beriman kepada-Nya?
Mengeluh, takut, atau bersikap pasrah juga bukan sikap yang tepat jika kita adalah orang beriman yang dewasa. Jika saja kita peka dan mampu melihat segala sesuatu dari kaca mata iman yang benar, kita sesungguhnya dapat melihat bahwa melalui pandemi ini Tuhan juga berkarya dan melakukan hal-hal yang baik, meski kita belum atau tidak dapat melihatnya.
Di balik kerugian-kerugian yang terjadi akibat pandemi Covid-19, ada banyak kesempatan dan kebaikan yang muncul dari tengah-tengah itu.
Dari berbagai berita saya baca, satu fakta yang dapat ditemukan ternyata berdonasi menjadi salah satu aktivitas daring tertinggi di samping kegiatan belanja, belajar, atau mencari informasi. Situasi sulit ini ternyata menggugah kepedulian dan rasa belas kasih kepada banyak orang.
Lalu, sebagai akibat dari PSBB, ada banyak kegiatan pembelajaran, diskusi, talk show, bahkan seminar yang dilakukan secara daring oleh berbagai pihak, dan secara gratis. Ini tentu satu fenomena yang tidak terjadi pada masa sebelum pandemi.
Melalui berbagai kegiatan tersebut, kita jadi banyak belajar dan tahu, tanpa harus bersusah payah keluar rumah atau mengeluarkan biaya dengan harga mahal. Pandemi Covid-19 membuka kesempatan lebar bagi kita untuk kembali “bersekolah” dan mendapat banyak pengetahuan atau keterampilan.
Situasi pandemi ini juga memaksa gereja-gereja untuk berpikir ulang dan merombak cara-cara pelayanannya. Sudah saatnya gereja memandang teknologi sebagai alat yang bermanfaat dalam melayani Tuhan dan sesama. Bukan sebagai musuh yang harus dijauhi, gereja harus melihat teknologi dan platform digital sebagai ladang baru untuk bermisi yang siap digarap dan dituai.
Masih ada banyak hal baik yang terjadi sebagai akibat pandemi ini, yang mesti dapat kita syukuri di balik segala kerugiannya. Meski keprihatinan dan kepekaan untuk mendukung mereka yang membutuhkan harus terus mengemuka dalam kehidupan kita saat ini, tetapi hendaknya pandangan kita tidak menjadi buta untuk dapat melihat karya Allah melalui situasi yang terjadi.
Dari Mgr Hila, kita belajar percaya bahwa Tuhan senantiasa berkarya untuk mendatangkan kebaikan dan pertumbuhan, bahkan di tengah-tengah penderitaan dan kesulitan akibat pandemi Covid-19.
Sama seperti Mgr. Hila yang percaya, kita pun harus percaya pada rencana Tuhan. Mungkin kita menderita, tapi kita harus yakin di balik penderitaan itu, Tuhan ingin memberi suatu yang baik bagi kita. Jadi, percayalah bahwa apapun yang terjadi di hidup kita, itu adalah rencana Tuhan yang terbaik yang ingin Ia berikan pada kita.
Penulis adalah Mahasiswi Semester Satu Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya
Komentar