Oleh: Fransiska Niken Hapsari
Katoliknews.com – Pendidikan dan kemanusian termasuk dua hal yang melekat dalam kehidupan Raden Ajeng Kartini dan 10 saudara kandunganya. Hingga kini, keturunannya meneruskan semangat yang sama. Salah seorang adalah Romo Prof Dr KRMT John Tandowidjojo Tondodiningrat, CM, cucu RA Kartini dari kakaknya, Sosroboesono.
Romo Tondo, panggilan akrabnya, lahir di Ngawi, eks Karesidenan Madiun, pada 27 September 1934. Ia putra pasangan KRMT Tandowidjojo dan RA Sutiretno Sosrobusono, dua sosok yang mengajarkan pentingnya pendidikan pada Tondo kecil.
Tando muda berangkat ke Italia setelah menyelesaikan pendidikan seminari di Madiun dan ilmu filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Surabaya pada 1957. Dia mengambil studi teologi di Collegio Sale-Bignole, Jenewa, Swiss, kemudian memperdalam Ethnologia di Pontificia Universitas Urbaniana Roma, Italia. Dia juga mengambil studi musik si Centro Della Cultura, Venezia.
Ia ditahbiskan menjadi imam pada 31 Maret 1963, di Genova, Italia, oleh Mgr Klooster, CM. CM adalah singkatan dari Congregatio Missionis atau Keluarga Misi, masuk dan berkarya di Indonesia pada 1923.
Romo Tando aktif menulis di banyak jurnal dan menjadi wartawan lepas untuk beberapa media. Romo Tando termasuk penulis produktif dengan menerbitkan 90 buku, dan lebih dari 850 judul artikel di berbagai majalah.
Lahir dari keluarga dengan adat Jawa yang kental, tulisan Romo Tondo banyak berkaitan dengan budaya dan nilai-nilai tradisional yang kaya makna. Salah satu yang terkenal adalah bukunya yang berjudul Enneagram Dalam Wayang Purwa.
Diterbitkan PT. Gramedia Pustaka Utama pada 2013, bertepatan dengan ulang tahun imamatnya yang ke-50, buku ini memakai pola enneagram dengan menampilkan sembilan watak dasar manusia, yang kemudian didekati dari sisi positif maupun negatifnya.
Bagi Romo Tando, wayang tidak hanya menyajikan hiburan cerita seru, tetapi juga tempat manusia belajar tentang moral dan pemodelan kepribadian.
Dari tokoh pewayangan, Romo Tando menyumbangkan sebuah karya besar yang akan sangat bermakna bagi masyarakat luas untuk bisa mengenal jati dirinya.
Melalui buku ini, ia turut melestarikan budaya pewayangan purwa dan turut andil dalam hal membangun karakter bangsa.
Sisi positif yang ada diharapkan dapat menjadi teladan dan dapat memotivasi para generasi muda di bangsa ini. Sebab menurut beliau, tujuan hidup kita bersama adalah untuk “Memayu hayuning bawana” – mempercantik indahnya dunia.
Romo Tando yang aktif melayani di Paroki Kristus Raja Surabaya ini telah berpulang dalam damai ke rumah Bapa pada 5 September 2018. Beliau menderita infeksi paru-paru serius dan beberapa gangguan kecil pada kerja jantungnya.
Sekalipun kini kita tidak lagi dapat bertemu sosok luar biasa ini, karyanya akan terus abadi dan pemikirannya akan terus hidup. Pribadi-pribadi yang telah beliau bentuk melalui berbagai tulisannya diharapkan akan dapat meneruskan perjuangan dan semangatnya dalam membangun karakter bangsa.
Pada masa pandemi seperti ini, apa yang telah dilakukan Romo Tando bisa menjadi inspirasi bagi kita. Semangatnya untuk berbagi makna lewat tulisan-tulisannya, kiranya menjadi teladan bagi kita untuk juga setia berbagi makna lewat cara kita masing-masing.
Terutama di masa-masa sulit ini, kesiapan dan kesetiaan kita untuk bermakna bagi orang lain sangat dibutuhkan. Dengan itu kita turut “mempercantik indahnya dunia,” semangat hidup yang selalu ditunjukkan Romo Tando selama hidupnya.
Penulis adalah Mahasiswi Semester 1 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya
Komentar