Suster dan pastor di Maumere, Flores membantu mengadvokasi kasus belasan remaja perempuan yang dipekerjakan di tempat hiburan malam. Mereka mendesak polisi mengusut tuntas kasus itu menuntut untuk menerapkan undang-undang terkait perdagangan orang kepada pelaku.
Suster dan imam itu yang bergabung ke dalam kelompok advokasi Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F) menyatakan ereka menemukan indikasi bahwa para gadis itu dijebak dan mengalami praktek perbudakan selama bekerja.
Ketujuh belas gadis itu dengan usia 14-17 yang berasal diselamatkan dari empat tempar hiburan malam atau pub di Maumere pada pekan lalu setelah TRUK-F mendapat pengaduan dari orangtua salah satu korban, lalu melapor ke polisi.
Mereka kini diamankan di Rumah Singgah Santa Monika, yang dikelola TRUK-F.
“Kami meminta agar polisi menggunakan undang-undang perdagangan orang agar pelaku bisa mendapat hukuman yang berat dan para korban bisa mendapat restitusi, di mana mereka mendapat penggantan kerugian secara moral dan fisik,” kata Suster Eusthocia Monika Nata, SSpS, kordinator TRUK-F.
“Apa yang mereka alami sudah memenuhi kriteria human trafficking, di mana mereka di bawah umur, lalu dijebak dalam kondisi kerja yang membuat mereka sulit untuk keluar,” tambahnya.
Ia menjelaskan, mereka saat ini berusaha terus memonitor langkah polisi karena berangkat dari pengalaman kasus-kasus sebelumnya, di mana tidak ada tindakan tegas bagi pelaku dan kasusnya dibiarkan berlarut-larut.
Suster itu menyebut contoh kasus pada 2015, di mana tujuh orang gadis yang bekerja 20 jam sehari tanpa digaji selama satu tahun di sebuah toko roti di Maumere.
Ia menjelaskan, proses hukumnya baru ditindaklanjuti secara serius setelah mereka menyurati Presiden Joko Widodo.
Namun, jelasnya, hukuman bagi pelaku sangat ringan dan para korban tidak mendapat semua hak mereka.
“Kami tidak mau hal yang sama terulang kembali,” katanya.
Ia menjelaskan, kasus pekerja anak itu juga bukan kasus tunggal, namun umumnya para korban yang berasal dari Jawa dan Sulawesi meminta dipulangkan saja ke keluarga dan tidak mau menjalani proses hukum.
“Hampir setiap tahun kami membantu memulangkan mereka ke keluarga mereka,” katanya, sambil menambahkan ini adalah kejahatan terorganisir yang perlu dibongkar.
Sementara itu Pastor Ottor Gusti Madung, SVD dosen Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero yang juga ikut mendampingi para korban mengatakan, ada indikasi bahwa korban dipaksa menjadi pekerja seks, di mana dua di antaranya sudah hamil.
Ia menambahkan, mereka juga menemukan bahwa selama bekerja mereka diwajibkan membeli makanan dan minuman di dalam tempat hiburan dengan harga yang ditentukan pemilik tempat itu.
“Kami sudah menghitung semua gaji mereka, yang hanya cukup untuk membayar makanan dan minuman dalam tempat hiburan. Ini menurut kami satu bentuk eksploitasi,” katanya.
Ia menambahkan, bersama elemen masyarakat lain mereka berencana mendatangi kantor polisi pada 1 Juli untuk memastikan polisi bekerja serius dan menggunakan undang-undang terkait tindak pidana perdagangan orang.
Komentar