Oleh: RD GREGORIUS NYAMING, Imam Diosesan Keuskupan Sintang, sedang menempuh studi doktoral Teologi Dogmatik di The John Paul II Catholic University of Lublin, Polandia
Dalam artikel di Katoliknews.com pada 20 September 2021, saya sudah berupaya menunjukkan kalau cara berladang yang dijalankan oleh suku Dayak sungguh merupakan sebuah kearifan lokal.
Oleh karena itu, dengan mendasarkan diri pada sikap dan pandangan Gereja Katolik yang meyakini bahwa Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia memiliki relasi yang sangat erat, saya pun berani mengatakan kalau kearifan berladang sungguh dapat menjadi locus theologicus.
Berangkat dari keyakinan tersebut, dalam artikel berikut saya ingin mengangkat salah satu tradisi dari dalam dunia perladangan. Tradisi yang saya maksudkan ialah beduruk. Tradisi ini kemudian akan saya kaitkan dengan salah satu tema sentral dan fundamental yang diusung oleh Konsili Vatikan II, yakni membangun Gereja sebagai persekutuan (komunio).
Tidak semua aspek yang terkait dengan Gereja sebagai komunio akan saya jabarkan dalam artikel ini. Dengan menggali nilai-nilai dan semangat dalam beduruk, saya ingin memusatkan diri pada beberapa tema yang oleh Konsili Vatikan II diberi penekanan demi terciptanya Gereja sebagai komunio. Seperti misalnya, pentingnya partisipasi umat beriman, laki-laki maupun perempuan (kaum awam), dalam hidup menggereja; perhatian atau solidaritas terhadap mereka yang kecil dan lemah.
Tema-tema tersebut, dalam hemat saya, sudah dihadirkan oleh warga dalam tradisi beduruk. Beduruk sendiri secara ringkas diartikan sebagai kerja bersama atau gotong royong oleh beberapa warga dalam mengerjakan ladang. Sebagai sebuah kegiatan komunal, beduruk menampilkan nilai-nilai esensial yang sangat penting untuk menunjang keberlangsungan hidup sebagai komunitas. Nilai-nilai seperti solidaritas, kesetiakawanan, pelayanan, pengorbanan, tanggung jawab, penghargaan terhadap sesama, dan seterusnya, semua itu dijumpai di dalam beduruk.
Dengan hadirnya nilai-nilai tersebut, tradisi ini telah, sedang dan akan tetap selalu memainkan peran yang sangat penting bagi masyarakat Dayak dalam upaya mereka bertahan hidup di era modern ini. Era di mana semangat gotong royong semakin digerus oleh individualisme dan pada saat mana hampir segala pekerjaan dinilai dengan uang.
Mengingat ada ratusan sub suku Dayak (sekitar 405) yang menyebar di seluruh Kalimantan, dalam tulisan ini saya akan menjadikan tradisi berladang dalam sub suku kami Dayak Desa sebagai titik acuan. Cara berladang dalam masing-masing sub suku memliki kemiripan, dan terkait dengan beduruk, mereka menyebutnya seturut bahasa masing-masing.
Sekilas tentang Tradisi Beduruk
Kemunculan tradisi beduruk tak bisa dilepaskan dari proses pengerjaan ladang yang cukup panjang. Setidaknya ada delapan tahap pengolahan ladang yang harus dilewati: 1) memilih dan menentukan lokasi (mangul), 2) menebas (nebas), 3) menebang (nebang), 4) membakar ladang (nunu), 5) mengumpulkan dan membakar kayu-kayu sisa pembakaran (nayak), 6) menanam (nugal), 7) menyiangi (mabau) dan 8) memanen (ngetau).
Melihat proses yang cukup panjang dan melelahkan ini rasanya tidak mungkin bila ladang dikerjakan seorang diri saja. Beduruk, kemudian, dipandang oleh warga sebagai jalan keluar yang efektif dan efisien untuk mengolah lahan pertanian.
Lalu, bagaimana praktek beduruk ini dilaksanakan? Beduruk selalu dilaksanakan dalam tahap-tahap pengolahan ladang seperti yang telah disebutkan di atas. Dari kedelapan tahap tersebut, nebas, nebang, nayak, nugal, mabau dan ngetau biasanya dikerjakan dengan cara beduruk. Sementara pada tahap nunu, meskipun memerlukan banyak tenaga, kerelaan dan kesediaan warga lain untuk membantu keluarga yang sedang nunu lebih ditonjolkan.
Sekurang-kurangnya ada dua jenis beduruk.
Pertama, beduruk setengah hari. Beduruk jenis pertama ini dilaksnakan setelah jam makan siang. Dilaksanakan mulai pada siang hari dengan pertimbangan pada pagi harinya para anggotanya masih pergi menyadap karet (noreh), atau masih mengurus urusan rumah tangga lainnya. Aktivitas beduruk ini berakhir sekitar pukul 16.30. Untuk anggotanya sendiri berkisar antara 5-10 orang.
Kedua, beduruk satu hari penuh. Masyarakat Dayak Desa di kampung saya menyebut beduruk jenis ini dengan arisan. Arisan dilaksanakan dua kali dalam seminggu. Sejauh yang penulis amati arisan dilaksanakan pada hari Rabu dan Jumat. Jumlah anggota dalam beduruk jenis kedua ini lebih banyak dari anggota beduruk yang pertama. Anggotanya bisa berkisar antara 15-20 orang. Arisan biasanya dimulai pada pukul 09.00 dan berakhir pada pukul 16.30.
Dalam pelaksanaan arisan, setiap anggota akan membawa bekal dari rumah masing-masing. Sementara anggota yang nampil – istilah yang dipakai oleh masyarakat Dayak Desa untuk merujuk kepada anggota yang ladangnya mendapat giliran untuk dikerjakan – bertanggung jawab penuh untuk menyediakan lauk-pauk dan sayur-mayur.
Nilai dan Semangat Persekutuan dalam Beduruk
Sebagai sebuah bentuk gotong royong, tradisi ini menampakkan dengan benderang semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Bekerja dalam semangat kebersamaan dan kekeluargaan membuat setiap anggota akan saling menghargai keberadaan, peran dan fungsi satu sama lain.
Dalam sikap saling menghargai itu, warga disadarkan betapa kehadiran orang lain sungguh mendatangkan banyak berkat serta kemudahan dalam hidup. Kesadaran tersebutlah yang selalu membimbing dan menggerakkan mereka untuk sedikit pun tidak memandang atau pun memperlakukan orang lain sebagai alat/mesin. Apalagi sebagai budak.
Kesadaran akan berharganya orang lain menumbuhkan sikap solidaritas terhadap sesama. Terlebih terhadap mereka yang kecil, lemah dan tak berdaya. Dalam beduruk sendiri, solidaritas tersebut ditunjukkan lewat ketulusan dalam membantu anggota yang ladangnya masih banyak memerlukan pengerjaan. Kesediaan untuk membantu ini semata-mata digerakkan oleh kasih dan rasa kekeluargaan, bukan karena mengharapkan upah.
Dalam semangat kebersamaan dan kekluargaan ini menjadi nyatalah apa yang telah diajarkan oleh St. Paus Yohanes Paulus II bahwa, kebaikan semua menjadi kebaikan masing-masing dan kebaikan masing-masing menjadi kebaikan semua (Christifideles Laici no. 28).
Gereja sebagai sebuah communio merupakan keluarga Allah. Sebagai keluarga Allah, kasih merupakan landasan utama agar ia bisa tetap bertumbuh dan berkembang. Paus Benediktus XVI dalam ensikliknya Deus Caritas Est menegaskan: “Gereja adalah keluarga Allah di dunia. Dalam keluarga ini tak seorang pun dapat dibiarkan tanpa mampu memenuhi kebutuhan hidupnya…jangan sampai di dalam keluarga Gereja ada orang yang mengalami penderitaan apapun juga” (no. 25).
Tingginya rasa solidaritas antarwarga sungguh mencerminkan nilai mendasar dari hidup manusia, yakni manusia sebagai pribadi bagi sesama (being for others; lih. Ensiklik Spe Salvi no. 28). Menghidupi nilai ini bukanlah perkara yang gampang. Apalagi sekarang beberapa komunitas adat tidak lagi hidup bersama di rumah panjang (rumah betang). Ditambah lagi dengan pesatnya kemajuan ilmu teknologi seakan semakin membuka ruang bagi individualisme untuk berkembang dengan subur. Hadirnya beduruk, dalam hal ini, menjadi salah satu sarana untuk menangkal perkembangan tersebut. Sebab dengan mau melibatkan diri dalam kerja gotong royong warga sesungguhnya diajak untuk “keluar” dari dirinya.
Dengan mau membuka diri, keluar dari ruang sempit dirinya, maka seseorang bisa belajar dari orang lain. Dalam dunia perladangan, misalnya, seseorang bisa belajar dari yang lain bagaimana cara yang baik dan tepat untuk menghasilkan panen yang bagus. Namun, lebih dari sekadar berbagi keterampilan, orang diajak untuk memaknai bahwa kepenuhan hidup akan tercapai bila mereka mau memberikan dirinya bagi orang lain dan berkorban bagi sesama. “Manusia tidak dapat menemukan diri sepenuhnya tanpa dengan tulus hati memberikan dirinya”, demikian ditandaskan oleh Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (no. 24).
Pentingnya Partisipasi Umat dalam Hidup Menggereja
Gereja Katolik, melalui Konsili ekumenis Vatikan II, membawa pembaharuan (aggiornamento) bagi wajah Gereja. Pembaharuan ini berangkat dari terabaikannya peran dan partisipasi umat beriman dalam karya kerasulan Gereja yang disebabkan oleh dominasi kaum tertahbis. Gereja sebagai communio, kemudian, menjadi tema sentral yang diusung oleh Konsili Vatikan II.
Dengan model Gereja sebagai communio, pertumbuhan dan perkembangan Gereja tidak lagi hanya berada pada tangan hierarki, tetapi dalam kerja sama hierarki dengan umat beriman. Gereja tidak lagi sepenuhnya berciri hierarkis-institusional, tetapi kolegialitas-partisipatif. Penekanan partisipasi umat berangkat dari martabat kaum beriman sendiri yang melalui pembaptisan yang mereka terima “dipanggil untuk sebagai anggota yang hidup menyumbangkan segenap tenaga, yang mereka terima berkat kebaikan Sang Pencipta dan rahmat Sang Penebus demi perkembangan Gereja serta pengudusannya terus-menerus” (LG 33).
Umat beriman memang sudah semestinya dilibatkan dalam karya kerasulan Gereja mengingat ciri khas mereka. Yakni, hidup di tengah masyarakat dan berhadapan dengan urusan-urusan duniawi. Di situlah letak panggilan hidup mereka. “Sesungguhnya mereka menjalankan kerasulan awam dengan kegiatan mereka untuk mewartakan Injil dan demi penyucian sesama, pun untuk meresapi dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat Injil”, demikian ditandaskan oleh Konsili dalam dokumen Dekrit tentang Kerasulan Awam (Apostolicam Actusitatem no. 2).
Selain alasan di atas, partisipasi umat begitu ditekankan oleh Konsili dalam pertumbuhan dan perkembangan Gereja, sebab dalam pembangunan Tubuh Kristus terdapat aneka ragam anggota dan jabatan. Satulah Roh, yang membagikan aneka anugerah-Nya sekadar kekayaan-Nya dan menurut kebutuhan pelayanan, supaya bermanfaat bagi Gereja (Lih. 1 Kor 12:1-11; LG 7).
Berkaitan dengan poin di atas, Avery Dulles mengatakan bahwa model eklesiologi komunio, dengan menekankan relasi personal antara umat beriman – secara individual maupun kolektif – dengan Roh Kudus, membantu membangkitkan spiritualitas dan hidup doa. Relasi tersebut juga membuka ruang bagi munculnya inisiatif-inisiatif spontan dari umat Allah. Oleh karena inisiatif -inisiatif itu digerakkan oleh Roh Kudus, dalam pandangan Dulles tidak mesti harus selalu dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pihak hierarki (bdk. Avery Dulles, 1974).
Peran Serta Kaum Perempuan
Penekanan partisipasi umat beriman juga menyentuh kepada persoalan yang tak kalah penting. Yakni, peran serta kaum perempuan. Aktivitas berladang pada umumnya dan tradisi beduruk pada khususnya bukanlah wilayah yang hanya didominasi oleh kaum laki-laki. Keterlibatan kaum perempuan dalam dunia perladangan memang sudah menjadi tuntutan. Karena mengingat sistem perladangan dalam masyarakat Dayak itu sendiri sungguh memerlukan tenaga yang tidak sedikit. Adalah hal yang mustahil bila menyerahkan pengerjaan ladang hanya kepada kaum laki-laki saja.
Masyarakat Dayak menganut sistem bilateral. Sebuah sistem yang menempatkan kaum laki-laki dan perempuan pada posisi yang sejajar dalam tugas kemasyarakatan dan juga dalam tugas mencari nafkah untuk keluarga. Dalam konteks pemahaman ini, keterlibatan kaum perempuan tidak pernah dilihat sebagai beban, tetapi sebagai sebuah tanggug jawab luhur yang mesti diemban dan dijalankan dengan penuh kesadaran. Pelibatan kaum perempuan tidak pernah dipandang sebagai sebuah bentuk pemaksaan. Apalagi penindasan ataupun pengeksploitasian.
Dari Kitab Kejadian kita diingatkan bahwa manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Hal ini hendak menunjukkan kesetaraan sekaligus kesatuan laki-laki dan perempuan. Keduanya adalah setara sebab yang satu tidak lebih mulia atau lebih jahat dari yang lain. Keduanya sekaligus membentuk satu kesatuan dan hanya dalam kesatuan itu menjadi gambar dan citra Allah. Kesetaraan merujuk pada kesamaan derajat, sementara kesatuan menunjukkan kesalingbergantungan yang hakiki (T. Krispurwana Cahyadi, 2007).
Rasul Paulus juga menulis dengan tegas: “Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:27-28).
Mengakui bahwa perempuan itu setara dengan laki-laki memang sangat penting. Tapi hanya sampai pada pengakuan belumlah cukup. Bagi Paus Yohanes Paulus II, pengakuan yang terbuka akan martabat perempuan ini merupakan langkah awal untuk mendorong partisipasi penuh dari kaum perempuan dalam kehidupan Gereja, juga dalam kehidupan sosial dan publik. Hal ini Bapa Suci tegaskan dalam Anjuran Apostolik Cristifideles Laici (Tentang Panggilan dan Tugas Kaum Awam di dalam Gereja dan Dunia, no. 49).
Pengakuan akan martabat luhur kaum perempuan dan dorongan untuk melibatkan mereka dalam tugas kerasulan Gereja tak pernah luput dari perhatian para Uskup se-Asia. Hal ini berangkat dari keprihatinan para Uskup terhadap nasib kaum perempuan yang masih sering mengalami kekerasan dan diskriminasi.
Hal senada juga diserukan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostoliknya Ecclesia in Asia (Gereja di Asia). Bapa Suci mengatakan, “Gereja di Asia hendaklah lebih nyata dan efektif menegakkan martabat dan kebebasan kaum wanita dengan mendorong peran mereka dalam perihidup Gereja, termasuk hidup intelektual mereka, dan dengan membuka bagi mereka peluang-peluang yang makin besar, agar hadir dan aktif dalam misi cintakasih dan pelayanan Gereja” (no. 34; bdk. AA 9).
Dalam Sidang Paripurna IV di Tokyo, Jepang, yang mengambil tema “Panggilan dan Misi Kaum Awam dalam Gereja dan dalam Dunia”, masalah tentang kaum perempuan menjadi salah satu perhatian para uskup se-Asia. Di satu sisi, para uskup se-Asia mengakui kontribusi yang signifikan dari kaum perempuan dalam bentuk beragam pelayanan seperti mengajar, menyembuhkan, memberi katekese, pengorganisasian, dan sebagainya. Namun, di sisi lain, para uskup juga tidak menutup mata terhadap tragedi kemanusiaan yang menimpa kaum perempuan. Martabat mereka seringkali direndahkan dan diinjak-injak dan didominasi dalam banyak cara (FABC Papers No.47).
Oleh karena itu, para uskup melanjutkan dengan menegaskan bahwa seorang perempuan adalah pribadi manusia yang integral, tidak peduli apa ras, golongan, suku atau agama yang dimilikinya. Ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Baginya juga diberikan panggilan ilahi untuk bertanggung jawab atas dunia yang telah diciptakan (bdk. Kej. 1:27; Idem.).
Penutup
Saya tertarik untuk mengangkat tradisi beduruk karena sekali lagi nilai dan semangat yang ada di dalamnya selaras dengan cita-cita Konsili Vatikan II yang menekankan pentingnya partisipasi umat dalam hidup menggereja; solidaritas terhadap mereka yang kecil, lemah dan tak berdaya sebagai jalan membangun dan mewujudkan Gereja sebagai communio.
Dalam konteks Gereja Keuskupan Sintang, tempat di mana saya mengabdikan diri, pemilihan tradisi beduruk yang begitu akrab dengan kehidupan umat, rasanya sungguh dapat menjadi sarana untuk menyadarkan umat Allah akan pentingnya communio serta pentingnya peran mereka masing-masing dalam hidup menggereja.
Apalagi mengingat Gereja sebagai komunitas umat beriman (communio) merupakan model Gereja yang hendak dihidupi sekaligus juga dicita-citakan oleh Gereja Keuskupan Sintang. Dengan Gereja sebagai communio mau ditegaskan bahwa Gereja bukanlah sekedar perkumpulan atau kerumunan orang, melainkan sebuah communio yang hidup, yang terbentuk oleh baptisan dan iman yang sama (Arah Dasar Keuskupan Sintang 2012-2016; 2017-2021).
Agar Gereja sungguh menjadi communio yang hidup, maka sebagai jemaat beriman semua dipanggil untuk ambil bagian dalam membangun dan bekerja di ladang Tuhan. Tentu sesuai dengan kemampuan masing-masing sebagaimana telah dianugerhkan kepada mereka oleh Allah Yang Mahakasih.
Komentar