Oleh: AZAS TIGOR NAINGGOLAN, advokat, pendamping hukum korban pelecehan seksual di Paroki St, Herkulanus, Depok.
Beberapa hari ini saya dikirimi oleh sejumlah orang berita terkait kesedihan mendalam Bapa Suci Paus Fransiskus atas banyaknya anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan Gereja Katolik di Perancis. Bagi saya, kesedihan Bapa Suci ini juga adalah kesedihan Yesus Kristus juga.
Dari hasil investigasi tim yang dibentuk untuk membongkar fakta tersebut, memang dilaporkan bahwa ada lebih 200.000 orang anak menjadi korban kekerasan seksual di dalam Gereja Katolik Perancis, terhitung sejak tahun 1950-an.
Laporan kasus pelecehan seksual demikian tentu bukanlah cerita baru. Kita mendapat laporan serupa juga dari negara-negara lain. Di Pennsylvania barat, Amerika Serikat, ratusan anak misalnya pernah dilaporkan menjadi korban pelecehan seksual 50 pastor. Jauh sebelumnya juga di Boston, yang sudah diangkat lewat film Spotlight pada 2015, perihal terbongkar kasus pelecehan seksual oleh beberapa imam.
Kalau di negara lain itu, kasus-kasus demikian sudah dibuka, bagaimana dengan di gereja Katolik di Indonesia? Apakah tidak ada kasus kekerasan seksual seperti di Perancis dan Amerika itu? Atau apakah memang Gereja Katolik Indonesia suci? Pertanyaan-pertanyaan ini mengusik hati saya.
Pada Mei 2020, bersama beberapa teman, termasuk para imam, suster dan aktivis Gereja Katolik kami membongkar kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sebuah gereja di Jawa Barat, tepatnya di Paroki St. Herkulanus, Depok. Saat itu saya menjadi kuasa hukum bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual pembimbingnya sendiri di gereja.
Setelah kami investigasi, kejadian tersebut rupanya mulai sejak tahun 2003, tetapi baru ada 23 korban yang mau bercerita dan mengaku sebagai korban. Yang bersedia melaporkan kasus ini ke polisi baru empat korban, lewat dua berkas yang sudah diserahkan.
Berkas pertama sudah sampai vonis pada tanggal 6 Januari 2021 lalu, di mana pelaku dinyatakan terbukti bersalah dan dihukum 15 tahun penjara, denda Rp 200 juta dan restitusi bagi dua korban, masing-masing enam juta rupiah dan sebelas juta rupiah.
Sementara berkas kedua yang dilaporkan oleh korban lain, sampai saat ini masih mandeg di kepolisian. Sementara itu, para korban dan keluarga mereka masih merasa takut dan malu, memerlukan dukungan agar mereka tegar juga kuat.
Pelakunya dalam kasus yang saya tangani tersebut di atas memang bukan pastor, tetapi aktivis paroki yang ditugasi seharusnya mendampingi anak-anak. Pada tahap awal saya menangani kasus ini, banyak sekali orang yang menekan dan meminta saya agar kasus kekerasan seksual tersebut tidak dibawa dan dilaporkan ke polisi.
Banyak orang yang menekan saya mengatakan bahwa sikap saya mendukung para korban membawa kasus ke ranah hukum negara akan mempermalukan internal Gereja Katolik. “Kamu telah menghancurkan reputasi gereja Katolik”, demikian kata-kata mereka saat itu, dan mungkin juga hingga sekarang.
Belajar dari pengalaman mendampingi para korban, mendengar suara pedih para korban dan keluarganya membuat saya mengatakan bahwa kita sebagai Gereja perlu berani berpihak pada korban, bukan pada pelaku.
Agar kita benar berpihak pada korban seperti yang diminta oleh Bapa Suci dan Tuhan Kita Yesus Kristus, maka perlu keberanian juga memeriksa kemungkinan adanya kasus kekerasan seksual di lingkungan Gereja Katolik di Indonesia. Upaya memeriksa dan membongkar ini agar kita sebagai Gereja benar-benar berpihak dan mau melindungi korban.
Fakta bahwa masih banyak umat Katolik yang masih takut bicara tentang kejahatan kekerasan seksual di lingkungan gerejanya adalah karena tekanan para tokoh dan bisa jadi adalah para pastornya. Bisa jadi juga para pastor yang tidak mendukung membongkar kejahatan kekerasan seksual di lingkungan Gereja Katolik adalah pelaku.
BACA: Romo Magnis Dukung Pengungkapan Kasus Pelecehan Seksual dalam Gereja
Sikap mereka, para pastor yang takut dan menutupi itulah menjadi dasar perilaku menekan para korban atau umat agar tidak bicara kebenaran di gerejanya. Sikap dan situasi ini akan membuat Gereja Katolik menjadi ditutupi oleh gelap dan membuat sedih yang mendalam dan melawan perintah Bapak Suci Paus Fransiskus dan Yesus Kristus itu sendiri.
BACA: Konferensi Waligereja Jepang Terbitkan Laporan Pelecehan Seksual Terhadap Anak
Untuk menjawab pertanyaan saya di atas memang perlu keberanian dari internal Gereja Katolik Indonesia melakukan pemeriksaan mendalam atau investigasi seperti yang dilakukan Gereja Katolik Perancis dan di negara-negara lainnya.
BACA: Paus Fransiskus: Tak Ada Toleransi untuk Pelaku Kekerasan Seksual
Investigasi tersebut perlu dilakukan untuk membangun kesadaran dan mewujudkan Gereja menjadi tempat yang aman bagi siapapun. Memastikan bahwa Gereja aman bagi siapa pun harus dinyatakan dan dibuka oleh Gereja itu sendiri. Melindungi anak dan menjadikan Gereja aman bagi siapa pun terutama anak-anak adalah untuk menjaga gereja masa depan. Perlu keberanian membuka diri agar ada jaminan menjaga gereja masa depan. Semoga.
Komentar