oleh
Yustinus Prastowo
Katoliknews.com — Menjelang senja akhir tahun waktu Indonesia, kabar duka tersiar. Paus Emeritus Benediktus XVI mangkat. Sebelumnya, Vatikan telah mengumumkan kondisi kesehatannya memang menurun. Alasan kesehatan pula yang membulatkan niat Paus Benediktus XVI turun takhta kepausan pada 2013. Kejutan sekaligus demistifikasi lembaga kepausan yang tidak punya tradisi pengunduran diri sejak Paus Gregorius XII tahun 1415. Dalam ungkapan terkenal Santo Paus Yohanes Paulus II, ”Yesus tak pernah turun dari salib.” Tak ada alasan mundur karena alasan apapun, selain kematian.
Dilahirkan dengan nama Joseph Alois Ratzinger pada 16 April 1927, ia tumbuh di keluarga religius. Cuaca Jerman kala itu adalah kemurungan akibat kekalahan di Perang Dunia I dan mekarnya NAZI di bawah Adolf Hitler. Ratzinger muda tentu bersyukur dilimpahi lingkungan dan tradisi intelektual Jerman yang sangat kuat. Waktu itu bersemi paham filsafat eksistensialisme, dengan Martin Heidegger sebagai tokoh utama. Selain itu, aliran filsafat lain yang juga populer adalah Mazhab Frankfurt yang digawangi Theodore Adorno dan Mark Horkheimer. Kelak penerus paling masyur tradisi Frankfurt paling masyur, Jurgen Habermas, menjadi lawan debat Ratzinger dan didokumentasikan dengan sangat apik.
Arus ateisme Barat di awal abad ke-20 pun terus menguat. Setidaknya sekularisasi pasca pudarnya kekuasaan Gereja Katolik (GK) di Eropa sebagai akibat lahirnya Gereja Protestan dan mekarnya nasionalisme. Dirintis Feuerbach, diiringi Darwinisme sosial yang anti metafisika dan berpuncak pada Nietzsche yang memproklamirkan kematian Allah, ateisme menjadi lawan tanding baru bagi kristianitas di Barat. Pada masa itu pula GK berada pada persimpangan eksistensial, yang kelak berpuncak pada berembusnya angin pembaruan melalui Konsili Vatikan II (KV II) pada 1962-1965. Eklesiolog kondang, Richard McBrien menyebutnya Hukum Pendulum, persis lantaran corak teologis dan ideologis Gereja berayun dari satu kutub ke kutub lain.
Sekadar Meringkas Linimasa Sejarah Gereja Katolik
Pembaruan dan sentuhan serius dengan dunia modern dirintis Paus Leo XIII yang berpuncak pada ensiklik Rerum Novarum. Paus merespons tegangan ideologis antara kapitalisme dan sosialisme atau liberalisme versus komunisme. GK menawarkan cara pendekatan baru yakni bukan “either/or” melainkan “both-and”. Perkaranya bukan sosialisme atau kapitalisme, atau liberalisme versus komunisme. Justru yang lebih mendasar adalah pijakan ontologis mengenai hakikat manusia sebagai citra Allah yang harus dihormati martabatnya. Ekstrem pada individu yang mengebawahkan masyarakat atau pemujaan kolektivitas yang merendahkan individu jelas mengandung cacat bawaan. Kelak, Paus Pius XI dalam ensilkik Quadragesimo Anno (1931) yang menandai ulang tahun ke-40 Rerum Novarum, menegaskan dengan apik bahwa sosialisme dan kapitalisme adalah “two rocks of shipwreck”, dua batu karang yang membuat kapal karam.
Paus Leo XIII mangkat dan digantikan Giusepppe Sarto yang mengambil nama Pius X. Sarto seorang konservatif. Ia merespons dinamika zaman secara ekstrem dan keras. Dekret penting di era ini adalah Lamentabili dan Pascendi Dominici Gregis. Kelak kita akan ingat Uskup Marcel Lefebvre yang tidak setuju dengan hasil KV II dan mendirikan Komunitas Pius X. Lefebvre dan para ultra-tradisionalis menyebut masa sesudah Pius X sebagai sede vacante atau takhta kosong. Pasca Pius X, tahun 1914 konklaf memilih Giacomo della Chiesa (Benediktus XV), seorang moderat yang dapat dibilang sebagai anti-tesis Pius X. Benediktus XV mengakhiri sikap anti-modern dan anti-Protestantisme Pius X dengan mengatakan “Cukuplah saya katakan bahwa Kristen itu nama saya, dan Katolik adalah nama fam saya.” Prestasi di masa ini adalah diundangkannya Kitab Hukum Kanonik pada 1917.
Saya menduga pemilihan nama Benediktus oleh Kardinal Ratzinger bukan tanpa relasi kuat dengan pemikiran, sikap, dan masa kepemimpinan Benediktus XV. Empat puluh tahun Pasca KV II, ia mewarisi GK yang masih berada pada tegangan eksistensial antara kubu konservatif dan progresif. Mereka yang meyakini KV II sebagai patahan dan babak baru, dan mereka yang berprinsip KV II adalah kontinuitas. Kepemimpinan Paus Pius XI dan Pius XII adalah fase krusial dalam sejarah GK. Ketika dunia sedang berada pada titik nadir akibat pecahnya dua perang dunia, modernitas dan kemajuan sains menjanjikan masa depan gemilang tanpa agama, toh Roh Kudus bertiup menjadi angin segar bagi Gereja. Ketegasan, ambiguitas, kompromi merupakan pilihan manusiawi di tengah kontestasi ideologi yang amat brutal. Modernisme yang antiagama, holocaust sebagai puncak fasisme di Jerman dan Italia, dan menguatnya komunisme di Eropa Timur merupakan konteks geopolitik yang sungguh pelik.
Sikap Pius XI, misalnya, cukup menarik karena pada 1928 beliau mengutuk ekumenisme dalam ensiklik Mortalium Animos dan mengutuk kontrasepsi dalam Casti Conubii. Paus Pius XI wafat pada tahun 1939 dan diadakan konklaf. Masa pemerintahan Pius XI yang cukup panjang mungkin meredakan polarisasi warisan masa-masa sebelumnya. Konklaf hanya berlangsung 2 hari dan 3 putaran—tersingkat pada abad modern ini—dan memilih Eugenio Pacelli yang mengambil nama Pius XII.
Enam bulan pasca pelantikannya, pecahlah Perang Dunia II. Pius XII sendiri adalah pribadi yang karismatik, teolog ulung dan administrator yang andal. Ensiklik terkenal di masanya adalah Divino Afflante Spiritu (1943) yang merintis upaya tafsir Alkitab sesuai perkembangan ilmu hermeneutika dan eksegese. Lalu ensiklik Mystici Corporis yang mengantisipasi Lumen Gentium di KVan II, dan terakhir Mediator Dei, yang diabdikan untuk pembaruan liturgi.
Titik balik muncul ketika pada 1950 ensiklik Humani Generis diterbitkan dan berisi kritik terhadap pandangan-pandangan modern dan baru yang berkembang, baik di bidang teologi maupun sains. Para teolog aliran nouvelle thelogiae dilarang membuat publikasi, termasuk ilmuwan Jesuit Teilhard de Chardin.
Terapung dalam arus sejarah seperti itu, Gereja terantuk dilema eksistensial: tetap memisahkan diri dari dunia demi terjaganya identitas dan kemurnian ajaran, atau melibati denyut dan gerak dunia dengan konsekuensi terbawa arus zaman? Setelah melewati berbagai perdebatan sengit, bergumul dalam kecemasan dan kekhawatiran akan masa depan, GK justru meraih kembali hawa kehidupannya.
Melalui anak zaman seperti para Jesuit Henri de Lubac SJ, Jean Daniélou, SJ, Karl Rahner SJ, para Dominikan seperti Yves Congar OP, Marie-Dominique Chenu OP, Edward Schillebeckx OP, para imam diosesan seperti Hans Urs von Balthasar, Joseph Ratzinger, dan Hans Küng, lahirlah corak teologi yang baru dan segar. Mereka ingin menyegarkan pendekatan skolastik yang kering dan berjarak dengan menyerukan ressourcement: kembali ke sumber teologi era para Bapa Gereja.
Di ranah lain, sejarah melahirkan John Henry Newman, teolog Anglikan yang masuk Katolik, Pierre Teilhard de Chardin SJ yang menantang evolusi-ateistik, Roger Aubert dan Brian Tierney, ahli sejarah yang menggali lagi kekayaan Gereja era Patristik, serta John Courtney Murray SJ dan Bernard Lonergan SJ dari Amerika Serikat yang berkontribusi meninjau ulang hubungan negara-agama.
Pada aras lain, Etienne Gilson dan Jacques Maritain, dua orang awam Prancis, mengaktualisasikan pemikiran Thomas Aquinas dengan pemikiran modern dan berjasa besar membangun fondasi filsafat menjelang KV II.
Dimotivasi oleh menguatnya peran awam Katolik yang tergabung dalam “Catholic Action”, berseminya demokrasi, menguatnya “Christian Democracy” pasca Perang Dunia II yang menghantar berkuasanya orang-orang Katolik seperti Charles de Gaulle dan Robert Schuman di Prancis, Alcide de Gasperi di Italia dan Konrad Adenauer di Jerman, Paus Pius XII pada pidato Natal 1944 di radio menyampaikan harapan baru bagi demokrasi.
Fajar keterbukaan pada dunia modern yang dirintis Paus Pius XII ini diteruskan oleh Paus Yohanes XXIII yang mengumumkan konsili pada 25 Januari 1959. Dalam khotbah Misa Pembukaan Konsili 11 Oktober 1962, Yohanes XXIII menyatakan Konsili akan “memampukan Gereja menghadapi masa depan tanpa ketakutan.” Melalui kasih, Gereja harus menjadi sarana penyembuhan dan menunjukkan watak pastoral yang mengedepankan kasih, rahmat, kepedulian bagi umat manusia.
Latar belakang inilah yang menjelaskan mengapa bahasa konsili lebih bercorak pastoral ketimbang yuridis-formal, lebih merangkul daripada menghukum, dan egaliter-inklusif bukan hierarkis-eksklusif.
Semua terhenyak dan tercekat. Begitu pula koleganya, Robert Rouquette, seorang Jesuit asal Prancis yang sangat mengenalnya, yang semula yakin bahwa Roncalli tak akan melakukan apa pun. Tapi nyatanya itulah yang terjadi. Beliau merumuskan tujuan konsili dengan bernas: “meningkatkan komitmen orang Kristen akan iman mereka dengan membuat ruang lebih besar bagi belas kasih dengan kejernihan budi dan keluasan hati.”
Kuncinya ada pada kepribadian Paus. Charles Curran, seorang teolog moral dari Amerika Serikat dan saksi sejarah, mengatakan bahwa Yohanes XXIII adalah pribadi yang rendah hati, supel, mencintai dengan sungguh, terbuka, dan seorang pendengar yang baik.
Berlangsung dari 11 Oktober 1962 hingga 8 Desember 1965, KV II menyimpan terlalu banyak fakta untuk dibabar. Konsili diawali dengan pembentukan Komisi Persiapan Awal yang menyusun kuesioner ke 2598 calon undangan. John O’Malley (2008) mencatat, secara keseluruhan Konsili diikuti 102 kardinal, 7 patriakh, 26 sekjen konsili, 2440 uskup dan uskup agung, 200 periti atau ahli, dan 120 peninjau dan tamu dari Gereja non-Katolik.
Selama konsili berlangsung, ada 253 bapa konsili wafat. Pada 3 Juni 1963, Paus Yohanes XXIII wafat karena kanker dan 21 Juni 1963 Kardinal Giovanni Baptista Montini—yang mengambil nama Paulus VI—menggantikannya. Konsili yang diawali dengan 70 draf dokumen ini berakhir dengan menghasilkan 16 dokumen setebal 300 halaman dalam edisi Latin.
Joseph Ratzinger, yang ketika konsili dimulai adalah profesor teologi berusia berusia 35 tahun, adalah peritus (ahli) yang dibawa Kardinal Josef Frings dari Koln Jerman. KV II menjadi perjumpaan para teolog muda, termasuk Hans Kung dan Karol Wojtyla yang kelak menjadi Paus Yohanes Paulus II.
Yang menarik, konsili sendiri menggambarkan denyut GK. Alih-alih kuat-kokoh bak batu karang, Gereja justru hidup dalam tegangan yang dinamis: antara intensi aggiornamento (menghidupi kekinian) dan ressourcement (kembali ke sumber), hermeneutika patahan dan hermeneutika kesinambungan, corak hierarkis dan egaliter-partisipatif, Gereja sebagai dorongan modernitas dan tarikan konservatisme, peneguhan kekuasaan Paus dan kemendesakan kolegialitas, penegasan sentralitas Roma dan tuntutan penghargaan Gereja pinggiran, keagungan Tridentine dan akomodasi kemeriahan budaya setempat.
Simpang siur dan lalu lalang peristiwa selama KV II mengabarkan satu fakta bahwa di tengah kerasnya tantangan dan silang sengkarut, Gereja terjaga dalam sebuah harmoni dan mendewasa. Melalui Yohanes XXIII yang awalnya diragukan dan Paulus VI yang diramalkan akan menghentikan konsili, Roh Kudus berkarya. Ia bertiup, menyapa, meneguhkan. Joseph Ratzinger—saksi hidup terakhir menyarikannya dengan tepat dalam rumusan “kebaruan dalam kesinambungan”.
Joseph Komonchak menyebut KV II sebagai event, suatu peristiwa yang keseluruhan maknanya hanya bisa ditangkap dalam kesinambungan sejarah. Dengan demikian, generasi masa kini adalah kelanjutan peristiwa dan semangat konsili. Itulah panduan sejati. Jika Yesus adalah kiblat iman, dan Roh Kudus adalah pemandu sejati, proses pencarian makna panggilan kekinian dalam terang KV II adalah sesuatu yang niscaya. Kita mesti melibati dunia dengan berbagi sukacita dan harapan (Gaudium et Spes).
Pasca KV II, GK terus berproses. Modernitas yang menjanjikan kemajuan pasca-perang, perdamaian yang menjadi jargon, perang dingin antara Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Soviet), menguatnya kapitalisme dan demokrasi bukannya tanpa tantangan baru. Mitra dialog bergeser dari Yudaisme ke Islam. Populasi umat Kristen bergeser dari Utara ke Selatan. Kristianitas menjadi agama yang dipeluk warga negara berkembang. Tantangan dialog semakin kuat dan hasil KV II mendapatkan batu uji sepadan.
Di sisi lain, tampak gejala berlanjutnya sekularisasi di Barat. Gereja semakin ditinggalkan dan kosong. Misi dan evangelisasi melemah. Relativisme agama mulai mendominasi ruang-ruang ilmiah. Karol Wojtyla terpilih sebagai paus dan mengambil gelar Paus Yohanes Paulus II. Cukup pasti ia ingin menghormati dan melanjutkan spirit Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI—dua pembaru Gereja.
Paus YP II amat sadar kompleksitas tantangan: pentingnya menjaga palang pintu orthodoksi dari gerusan sekularisasi dan relativisme iman, dan populisme agar Gereja tetap punya daya tarik karena aktif menyapa dan dekat dengan akar rumput. Pilihan YP II tepat: mengajak Joseph Ratzinger, sahabat lamanya, sebagai Prefek Kongregasi Doktrin Iman (CDF) yang kerap dituduh sebagai lembaga inkuisisi modern.
Ketegangan teologis para pewaris KV II antara lain tercermin pada lahirnya dua jurnal teologi terkemuka yang masih bertahan hingga sekarang, Concillium dan Communio. Cocillium didirikan 1965 dan dibidani Karl Rahner, Schillebecekx, Yves Congar, JB Metz, Hans Kung, Ratzinger, Henri de Lubac, dan Hans urs von Balthasar, dan akhirnya Ratzinger, von Balthasar, dan de Lubac mendirikan jurnal Communio sebagai rival pemikiran.
Tantangan internal Gereja adalah kontekstualisasi. Seiring bergesernya lokus populasi umat Katolik ke Selatan, pergumulan iman bergeser dari otrhodoksi ke orthopraksis. Teologi Pembebasan yang meminjam pendekatan marxisme sebagai pisau analisis mulai memperoleh simpati di Latin Amerika.
Puncak perseteruan teologis adalah terbitnya notifikasi dari Vatikan terhadap pemikiran Leonardo Boff pada tahun 1985. Di sisi lain, kemenangan neoliberalisme yang ditandai dengan berkuasanya Ronald Reagan di AS dan Margareth Thatcher di Inggris seolah kapitalisme dan ekonomi pasar tanpa tanding. Terlebih pasca runtuhnya Uni Soviet dan komunisme pada 1989. Paus YP II yang sangat populer dan karismatik, dekat dengan umat, devosan yang taat, mampu menjadi magnet bahkan membangun mitos baru yang kuat. Paus yang menjadi simbol globalisasi. Sebaliknya, Kardinal Ratzinger, sang teolog brilian sebagai penjaga orthodoksi, tetap setia di belakang meja dengan pemikiran dan pena yang tajam.
Perseteruan teologis tak berhenti pada para teolog pembebasan. Catatan Vatikan berlanjut pada mereka yang dianggap berpaham relativis sebagai buah dialog agama-agama. Penilaian pada perjumpaan iman Katolik dengan berbagai keyakinan dan budaya setempat kerap luput dari risiko kompleksitas dan ketakmemadaian bahasa sebagai ungkapan simbolik. Selain notifikasi pada Jon Sobrino, Roger Haight, dan Tissa Balasuriya— kejadian yang paling memilukan barangkali notofikasi untuk teolog Jesuit Jacques Dupuis yang merintis dialog antariman dengan tradisi Timur.
Puncak representasi Kardinal Ratzinger adalah terbitnya dokumen Dominus Iesus (Yesus Tuhan) pada tahun 2000. Dokumen ini menjadi penegasan resmi Vatikan tentang keunikan dan finalitas penebusan Yesus Kristus sekaligus peneguhan Gereja Katolik sebagai satu-satunya pewaris tanpa putus Gereja yang dipimpin Petrus dan penerusnya.
Sontak dokumen ini menyulut perdebatan teologis yang sengit dan produktif, yang direpresentasikan oleh dua Jesuit: Karl Josef Becker SJ yang berada di pihak Ratzinger, dan Francis Sullivan SJ yang mengkritik pemahaman frasa ‘subsistit in’ di Lumen Gentium 8.
Ratzinger Terpilih Jadi Paus
Akhirnya, Kardinal Joseph Ratzinger terpilih sebagai paus baru menggantikan Paus YP II yang mangkat tahun 2005. Era kepausan yang panjang, karismatik, dan meninggalkan rekam jejak luar biasa telah berakhir. Beban berat di pundak Kardinal Ratzinger yang memilih nama Benediktus XVI.
Meski tercatat sebagai teolog besar dan bereputasi tinggi, ia adalah pribadi yang rendah hati. Sesaat setelah terpilih, Benediktus XVI mengaku bukan administrator yang baik karena sepanjang hidupnya diabdikan untuk bidang teologi. Para Kardinal di konklaf jelas menginginkan kesinambungan dan figur paling tepat adalah Ratzinger yang lebih dari separuh usianya bersama Paus YP II. Sebagai Paus, Benediktus XVI menulis tiga ensiklik penting dan monumental: Deus Caritas Est, Spe Salvi, dan Caritas in Veritate. Tiga ensiklik yang ditulis tematik secara terbalik sesuai 3 pilar Kristianitas: kasih, harapan, dan iman.
Selain itu, ia menulis beberapa buku penting. Untuk menyebut beberapa: The Spirit of the Liturgy (2000), Truth of Tolerance (2003), dan tentu saja trilogi Jesus of Nazareth (2007) yang merupakan elaborasi penting dengan metode ressourcement yang brilian, sebagai respons atas maraknya publikasi buku tentang Yesus yang menggunakan pendekatan Yesus historis, seperti karya James Tabor dan Barth D Ehrman.
Buku-buku karya Ratzinger ini menjadi rujukan akurat dan kokoh bagi pertanggungjawaban iman Kristen. Tak ketinggalan, sebagai pertanggungjawaban iman dalam spirit fides quaerens intellectum, Joseph Ratzinger pada 2004 bertukar pikiran dengan filsuf masyur Jerman, Jurgen Habermas, ateis yang bersimpati pada agama-agama. Mereka mendiskusikan pra pengandaian dan pendasaran normatif negara liberal sekular yang dirintis Ernst Wolfgang Bockenforde.
Sebagai pemimpin Gereja Katolik Roma yang paham betul dan sepenuhnya menyadari berbagai tegangan internal dan eksternal, Paus Benediktus XVI membuka dialog dengan Islam saat pidato di Regensburg Jerman meski akhirnya menuai kontroversi dan memicu dialog antaragama yang lebih intensif.
Di masa Benediktus XVI pula rekonsiliasi dengan para pengikut Komunitas Pius X dilakukan. Misa Ritus Latin diberi ruang lebih leluasa dan dicurigai beberapa kalangan sebagai keberpihakan pada konservatisme. Namun, ia juga merajut kembali hubungan baik dengan Hans Kung, sahabat lama yang berpisah jalan karena perbedaan sudut pandang teologis.
Pilihan untuk mengundurkan diri memang mengejutkan tetapi sungguh pantas diapresiasi. Paus Benediktus XVI di usia senjanya menanggung beban terlampau besar untuk hal yang tak dilakukannya.
Namun, sebagai pemimpin, ia bertanggung jawab. Ia memilih memberi kesempatan bagi orang lain melanjutkan tugas. Penerus Petrus ini melakukan demistifikasi takhta kepausan. Ia sungguh pribadi yang hebat sekaligus rendah hati dan penuh welas asih.
Kegarangannya sebagai penjaga palang pintu orthodoksi adalah tugas panggilan yang harus dilakukan justru karena kecintaan pada Gereja dan Tuhan. Kerendahan hatinya membuka jalan baru bagi Gereja di bawah Jorge Mario Bergoglio, yang menjadi Paus Fransiskus pada 2013.
Fajar Baru Dimulai
Paus Fransiskus adalah paus pertama dari dunia ketiga, mewakili Selatan, Jesuit yang mengutamakan pendekatan pastoral, alih-alih pendekatan doktrinal-yuridis. Berbahagialah Paus Fransiskus yang mengemban tugas kegembalaan di bawah darasan doa Paus Emeritus Benediktus XVI. Dan bersukacitalah Paus Emeritus Benediktus XVI menyaksikan penggantinya memperkuat, melanjutkan, dan kadang membuat patahan tegas sebagai pembaruan apa yang telah ia rintis. Gereja menjadi sungguh hadir dan terlibat dalam denyut keseharian dunia. Bergumul sekaligus berjarak.
Lumen Fidei, ensiklik yang ditulis dengan empat tangan, kiranya menjadi pijakan penting dan pertanda bahwa semua simplifikasi adalah tidak tepat. Gereja akan selalu menghidupi tegangan-tegangan justru sebagai tanda ia hidup. Meski bukan berasal dari dunia namun Gereja menyadari betul pentingnya keterlibatan di dunia justru untuk mengupayakan keselamatan Allah terwujud.
Melampaui pembedaan simplistis kubu konservatif vs liberal/progresif, patahan vs kesinambungan— Paus Emeritus Benediktus XVI adalah cacatan sejarah itu sendiri. Meski ada ketidaksetujuan pada beberapa sikap dan pandangannya, hal ini tak mampu mengerdilkan sumbangsihnya yang terlampau besar. Ia adalah sejarah Gereja itu sendiri. Membaca dan memahami Ratzinger adalah membaca dan memahami Gereja dan dunia. Pendulum akan terus berayun. Roh Kudus akan bertiup ke mana Ia mau.
Selamat berpulang ke rumah Tuhan, hal yang engkau rindukan sejak lama. Selamat bercengkerama dengan Tuhan Yesus yang sepenuh hati dan sepanjang hidup engkau bela, selami, dan ikuti. Tubuh individual boleh mati, tetapi tubuh komunal akan semakin kuat bertumbuh dengan bersemainya pemikiran dan teladan. Doakan kami yang masih mengembara, berziarah di simpang siur dunia.
*Penulis adalah alumnus STF Driyarkara, Jakarta. Ketua Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD) dan Staf Khusus Menteri Keuangan RI.
Komentar