Katoliknews.com – Menyusul penolakannya untuk meninggalkan Nikaragua-Amerika Tengah, Uskup Matagalpa, Mgr. Rolando José Álvarez Lagos dijatuhi hukuman lebih dari 26 tahun penjara dalam sidang pengadilan di Managua pada Jumat, 10 Februari 2023.
Seperti dilansir Vaticannews, hakim juga mengumumkan bahwa dia akan didenda dan dicabut kewarganegaraan Nikaraguanya.
Mgr. Álvarez dihukum karena dituduh mengkianati, merusak integrasi nasional dan menyebarkan berita palsu.
Tolak Diusir dari Nikaragua
Hukuman terhadap Álvarez, yang semula direncanakan pada 15 Februari mendatang, datang sehari setelah Uskup Keuskupan Matapalga itu menolak untuk diusir ke Amerika Serikat bersama 222 penentang Presiden Manuel Ortega lainnya yang ditahan.
Ratusan orang yang ditahan karena dituduh bersekongkol melawan pemerintah itu termasuk lima imam, seorang diakon, dan dua seminaris. Mereka juga dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.
Seperti Uskup Álvarez, kewarganegaraan mereka dicabut dengan dalil “melakukan tindakan yang merusak kemerdekaan, kedaulatan, dan referendum, dan karena menghasut kekerasan, terorisme, dan destabilisasi ekonomi.”
Mereka sekarang sedang menunggu izin tinggal di AS.
Dua imam lainnya, pastor Manuel García e José Urbina, dari Keuskupan Granada masih ditahan di penjara Nikaragua dengan tuduhan serupa.
Uskup Pertama yang Dipenjara sejak Ortega Kembali Berkuasa
Álvarez yang merangkap sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Estelí adalah uskup pertama yang dipenjara sejak Ortega kembali berkuasa pada tahun 2007.
Dia ditahan oleh polisi pada 19 Agustus 2022, bersama para pastor, seminaris, dan awam, setelah dipenjara secara paksa selama dua minggu di Kuria Keuskupannya karena diduga berusaha untuk “mengorganisir kelompok-kelompok kekerasan” dengan “tujuan mengacaukan stabilitas Negara Nikaragua dan menyerang otoritas yang konstitusional”.
Jaksa juga menuduh dia telah melakukan “kejahatan konspirasi untuk merusak integrasi nasional dan penyebaran berita palsu melalui teknologi informasi dan komunikasi yang merugikan negara dan masyarakat Nikaragua.
Pada bulan Januari 2023, pengadilan di Managua menunjukkan bukti tersebut dan memerintahkan Uskup Álvarez untuk tetap menjadi tahanan rumah. Dia sekarang telah dipindahkan ke penjara dengan keamanan tinggi.
Kekerasan terhadap Gereja di Nikaragua
Hukuman itu dijatuhkan ketika kekerasan terhadap Gereja di Nikaragua semakin intensif, dengan penangkapan para imam yang terus berlanjut dan penutupan badan amal dan lembaga Gereja.
Dalam sambutannya di televisi setelah vonis, Ortega, Presiden negara itu, menegaskan kembali tuduhan “terorisme” terhadap Uskup Álvarez.
Hubungan antara para uskup dan pemerintah Sandinista—partai berkuasa berhaluan sosialis di Nikaragua—tegang sejak 2018 ketika otoritas negara itu menekan protes terhadap serangkaian reformasi kontroversial dalam sistem jaminan sosial.
Meskipun ada upaya untuk menengahi krisis tersebut, para uskup akhirnya dilarang berdialog dan dituduh oleh Ortega terlibat dalam dugaan kudeta.
Hubungan semakin memburuk ketika pada pemilu yang syarat kontorversial pada tahun 2021 silam mengukuhkan pemimpin Sandinista itu untuk mandat lain.
Kecaman dari para Uskup di Seluruh Dunia
Sejak pecahnya krisis di Nikaragua, Gereja telah menjadi sasaran beberapa serangan dan penodaan, serta pelecehan dan intimidasi terhadap para uskup dan imam.
Pada tahun 2019, Uskup Pembantu Managua Silvio José Báez terpaksa meninggalkan Keuskupan Managua atas permintaan Paus Fransiskus setelah ia menerima beberapa ancaman pembunuhan.
Pada tahun 2022, pemerintah mengusir Nuncio Apostolik Nikaragua, Uskup Agung Polandia Waldemar Stanislaw Sommertag dan 18 Misionaris Cinta Kasih. Kekerasan itu itu telah menuai protes luas dari para uskup di Amerika Latin dan di seluruh dunia.
Pada 6 Februari 2022, Presiden Komisi Konferensi Waligereja Uni Eropa (COMECE), Kardinal Jean-Claude Hollerich, bergabung dalam mengungkapkan solidaritas kepada Gereja Katolik di Nikaragua dan memohon pembebasan para tahanan.
Paus Fransiskus mengacu pada situasi di Nikaragua selama doa Angelus pada hari Minggu, 21 Agustus 2022, dengan mengatakan bahwa dia mengikuti perkembangan dengan cermat “dengan keprihatinan dan kesedihan”, dan mengungkapkan harapannya bahwa, “melalui dialog yang terbuka dan tulus, dasar untuk koeksistensi yang penuh hormat dan damai masih dapat ditemukan”.
Komentar