Katoliknews – Hari-hari jelang eksekusi mati, teryata bukan cuma terpidana mati yang tak tenang, tetapi juga para petugas yang mempersiapkan eksekusi itu.
Setidaknya, itulah hal yang dilihat oleh Romo Charles Patrick Edward Burrows, OMI seorang pastor yang selama ini selalu menjadi pembimbing rohani terpidana mati di Nusakembangan.
Romo Carolus mengambil contoh terpidana mati kasus narkotika Rodrigo Gularte. Pria 42 tahun asal Brasil itu, menurut Romo Carolus bahkan tidak tahu bahwa ia akan dieksekusi mati sesaat sebelum eksekusi dilakukan pada 29 April 2015 lalu.
Menurut Romo Carolus berdasarkan hasil diagnosisis Profesor dari salah universitas di Yogyakata, Rodrigo menderita skizofrenia. Ia menderita penyakit itu sejak kecil.
Romo Carolus mengatakan banyak napi atau dia lebih suka menyebutnya “anak binaan” pada saat ditarik dari sel untuk dieksekusi menangis bahkan ada yang kencing atau berak di celana.Sampai dieksekusi mereka menangis terus-menerus.
Rodrigo misalnya, ketika diserahkan dari sipir kepada polisi mengatakan “Apakah saya dieksekusi?”
Padahal sudah selama tiga hari ia didampingi untuk mempersiapkan eksekusi itu. Tetapi, kata Romo, ia sama sekali tidak sadar akan diekeskusi.
Menurut Romo, ia lebih percaya pada bisikan yang didengarnya bahwa ia tidak diekeskusi. “Dia dengar suara dari mana bahwa dia lolos,”ujarnya.
Contoh lain, kata dia, Mary Jane Veloso, warga Filipina. Setelah masa persiapan selama tiga hari, ada pengumuman dari petugas agar keluarga segera meninggalkan para terpidana.
Tetapi saat itu, Mary Jane, menurut Romo memberontak. “Tidak, tidak, saya ingin sama anak saya.” Mary Jane akhirnya saat itu batal dieksekusi pada detik-detik terakhir.
Tak hanya perpidana mati yang tak tenang. Menurut Romo petugas seperti Jaksa yang mempersiapkan eksekusi juga sebenarnya tidak tenang.
“Saya lihat yang terlibat dalam proses eksekusi semuanya tegang dan mudah marah. Mengapa mudah marah? Karena dia tahu apa yang dia lakukan itu salah,”kata Romo Carolus ketika menjadi pembicara dalam seminar tentang hukuman mati di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Selasa 17 Mei 2016.
Orang Indonesia juga kata Romo, kalau bisa meyaksikan langsung atau bila televisi bisa menyiarkan secara langsung detik-detik jelang dan saat eksekusi, pasti banyak yang akan tidak setuju dengan hukuman mati.
“Saya yakin sekali 80% orang Indonesia tidak setuju hukuman mati karena orang Indonesia punya hati”,ujarnya.
Bahkan kata dia, ada jaksa yang mengaku kepadanya. “Romo kami tidak setuju dengan hukuman mati, tetapi terpaksa harus menjalankannya.”
Menurut Romo Carolus bila hukum di Indonesia berdasarkan Pacasila, dirinya yakin hukuman mati dihapus. “Kalau hukum berdasarkan pancasila, saya yakin hukuman mati akan dihapus.”
Romo Carolus sudah bertugas di Cilacap sejak 1973. Sejak saat itu, ia juga langsung mendampingi para tahanan politik (tapol) hingga 1979.
Romo Carolus lahir di Seville Place, Dublin, Irlandia Selatan pada 8 April 1943 dan ditabiskan menjadi pastor pada 21 Desember 1969.
Selain menampingi para narapidana, ia juga melakukan beberapa karya sosial dan penghijauan.
Cita-citanya menjadi pastor tumbuh sejak kecil. “Dari kecil saya sering mendengar tentang anak-anak di Afrika,”ujarnya kepada Katoliknews usai acara seminar.
Cerita-cerita tentang kehidupan di negara berkembang, membuat ia tertarik untuk memberantas kemisikinan. Karena itu setamt SMA, pada umur 19 tahun, ia memutuskan menjadi pastor dan masuk seminar tinggi.
Setelah jadi pastor ia dikirim ke Australia selama tiga tahun. Dari Australia, kemudian ke Cilacap. Ia sudha berada di Cilacap selama 43 tahun.
Pengalaman panjangnya mendampingi para narapidana, membawah ia pada kesimpulan, “tidak ada manusia jahat. Kalau kita bisa mendidik mereka, ada istilah, neraka jadi surga, surga bisa jadi neraka,”ujarnya.
Hanya memang persoalannya di Indonesia kata dia, biaya hidup para terpidana sangat minim. Menurutnya, rata-rata pemerintah hanya menyedikan Rp 14.000 per hari per narapidana. (Katoliknews)
Komentar