Oleh: Fr Mathias Jebaru Adon SMM, Mahasiswa STF Widya Sasana Malang
Liturgi khususnya sakramen Ekaristi adalah tindakan kehadiran Allah yang menebus manusia dan karya manusia yang memuliakan Allah. Dalam liturgi Allah datang kepada manusia, menyatakan diri dan berdialog dengan manusia dan manusia menanggapi kehadiran Allah itu melalui aneka sarana; nyanyian, kata, gerak yang dilakukan secara bersama-sama. Melalui sarana-sarana itu umat berkontak dengan Allah yang mewahyukan diri-Nya.
Dalam liturgi umat memasuki misteri paskah dan mengalami penebusan melalui sarana-sarana simbolis. Maka perayaan liturgi khususnya Ekaristi membawa orang mengalami diri terarah kepada kepada Allah dan bertemu dengan Allah secara pribadi. Suatu perjumpaan dengan Allah yang memberikan diri-Nya secara total untuk disantap dan tinggal dalam diri manusia.
Jadi perayaan liturgi adalah perayaan di mana Allah sekali lagi solider dengan kehidupan manusia yang gelap tak berpeta. Dengan solider dengan hidup manusia, Allah berbagi rasa dalam kegembiraan dan kesakitan manusia, membela dan melindungi manusia dan menanggung seluruh suka-duka kehidupan manusia.
Liturgi Ekaristi menampilkan secara sakramental penyerahan diri Kristus kepada Allah Bapa-Nya sekaligus juga korban diri-Nya bagi hidup manusia dan keselamatan manusia. Dalam Ekaristi, Kristus sungguh memberikan diri-Nya untuk manusia dan mengubah manusia ke dalam diri-Nya sendiri.
Inilah wujud cinta Allah yang menjelma menjadi manusia dan sekaligus menjadi sumber dan pemenuhan cinta manusia. Oleh karena itu liturgi khususnya Ekaristi merupakan puncak sekaligus sumber seluruh hidup Gereja. Dari sanalah mengalir rahmat yang amat besar bagi pengudusan manusia dan pemulihan Allah dalam dan melalui Kristus, sebagai tujuan Gereja (SC 10).
Karena itu, segala bentuk karya kerasulan Gereja maupun kegiatan hidup harian jemaat bersumber dari daya kekuatan liturgi dan mengarah kepada liturgi.
Dengan demikian liturgi tidak boleh berhenti hanya sebagai ritual rubrik atau devosi belaka. Tetapi, liturgi harus menyentuh realitas pergulatan hidup manusia sehari-hari. Karenanya perayaan liturgi khususnya Ekaristi bukan sekedar sakramen, sebab di dalamnya Tuhan sendiri hadir dan berkarya, sehingga liturgi Ekaristi menjadi puncak misteri keselamatan manusia.
Di dalamnya terungkap kasih Allah yang begitu besar serta mengandung perintah bagi manusia untuk saling mengasihi sebagai tanda bahwa kita semua adalah murid-murid Kristus.
Gereja merayakan liturgi berdasarkan pada tindakan pemberian diri Yesus yang tidak hanya mengorbankan diri-Nya di atas kayu salib tetapi juga dalam tindakan kasih pelayanan seperti yang Ia tampakan dalam peristiwa perjamuan terakhir dengan membasuh kaki para rasul.
Peristiwa pembasuhan kaki mengandung pesan yang dalam bagi manusia agar mencintai sesama seperti Allah mencintai. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa liturgi Ekaristi adalah perayaan kasih Allah yang memberikan diri-Nya untuk memulihkan kehidupan manusia dan memperdamaikan segala sesuatu dalam diri-Nya.
Perayaan Ekaristi: Perayaan Berbagi
Dalam liturgi keseluruhan kehidupan manusia dirayakan, tidak hanya relasi manusia dengan Allah tetapi juga relasi manusia dengan sesama dan alam lingkungannya. Liturgi dengan demikian memiliki dimensi sosial, bahwa iman itu sesuatu yang harus dirayakan secara aktual dan konkret sehingga berbuah nyata dalam kehidupan bersama.
Dimensi sosial liturgi ini mendorong umat beriman untuk ikut ambil bagian dalam gerak Tuhan yang memberi hidup kepada dunia dan keselamatan manusia.
Ekaristi karenanya memampukan serta mengundang manusia untuk membangun persaudaraan kasih dalam kebersamaan dengan umat Allah di tengah dunia. Di mana perwujudan kasih kepada sesama kembali ditegaskan sehingga berbuah bagi penataan dunia dan semakin sesuai dengan pesan dan gerak Kerajaan Allah.
Kehadiran nyata Kristus dalam rupa roti dan anggur yang kita santap memasukkan kita ke dalam persekutuan dengan diri-Nya sendiri dan dengan sesama. Karenanya, dalam Ekaristi ada ‘sharing’ semangat kasih untuk mau berbagi satu sama lain, seperti Kristus yang hadir dalam roti yang dipecah-pecahkan dan darah yang dicurahkan untuk memberi hidup kepada dunia.
Demikian pun hidup kristiani di didorong untuk ikut serta dalam gerak Tuhan yang berbagi hidup kepada manusia sehingga mengubah budaya kebencian dan kematian menjadi budaya hidup dan kasih.
Karena itu, Ekaristi adalah perayaan kehidupan, bukan perayaan yang dimaksudkan untuk membangun kesalehan privat tanpa ada kepedulian akan dunia dan kehidupan.
Sebagai perayaan iman, Ekaristi menumbuhkan sikap dalam diri umat sikap saling berbagi satu sama lain. Sebab dalam semangat saling berbagi umat beriman secara personal maupun bersama melayani Tuhan. Dengan demikian individualisme dan kesalehan privat tidak mendapat tempat dalam liturgi.
Untuk sampai kepada cita-cita mulia itu, orang kristiani harus mengalami perjumpaan secara personal dengan Allah yang mewahyukan diri-Nya. Memalui perjumpaan secara personal dengan Allah orang Kristiani diharapkan menguatkan perutusan sosial yang terkandung dalam Ekaristi yaitu merubuhkan tembok pemisah, baik antara umat manusia dengan Allah tetapi juga antara sesama manusia.
Maka dengan ikut ambil bagian dalam perayaan Ekaristi, umat kristiani belajar menjadi pejuang kesatuan, kedamaian dan solidaritas di setiap situasi yang dihadapinya. Apalagi di tengah kehidupan masyarakat yang ditandai dengan dan konflik dan kekerasan, Ekaristi dapat menjadi ‘sekolah perdamaian’, membentuk umat kristiani memperjuangkan dialog dan kesatuan di berbagai tingkat tanggung jawab sosial-ekonomi dan politik yang diembannya.
Dengan demikian kehadiran Gereja sebagai tanda dan sarana keselamatan dapat terwujud. Hal ini sesuai dengan panggilan dasar umat kristiani, bahwa karena Kristus telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita, maka kita pun wajib ‘menyerahkan nyawa’ untuk sesama.
Dengan menerima Ekaristi umat kristiani menjadi satu, karena dengan ambil bagian dalam Tubuh dan Darah Kristus umat kristiani menjadi satu tubuh dengan Kristus. Dari kesatuan dengan Allah dalam Ekaristi itulah tumbuh rasa tanggung jawab yang baru dan mendalam akan solidaritas dan komitmen pelayanan bagi mereka yang miskin, menderita, kecil dan tersingkir.
Kepedulian dan pembelaan Allah terhadap manusia khususnya mereka yang miskin, tersisih, lemah dan mengalami ketidakadilan sosial tercermin dalam bacaan-bacaan kitab suci yang dirayakan dalam perayaan Ekaristi.
Misalnya bacaan Injil pada hari Minggu Biasa XXI/Tahun A yaitu Injil Mateus 7:21-27, khususnya dalam ay. 21 “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga” atau bacaan pertama pada hari Rabu Minggu biasa IX/ Tahun II dari Kitab Amos 8:4-6. 9-12, tentang orang yang membuat rumah dari batu pahat tetapi tidak akan mendiaminya dan yang membuat kebun anggur yang indah tetapi tidak meminumnya. Karena Tuhan Allah tahu perbuatan mereka yang jahat yang menjadikan orang benar terjepit dan mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang (Amos 8: 11-12).
Semangat dan jiwa khas Ekaristi,” Inilah Tubuh-Ku yang dikorbankan bagimu”, memanggil umat beriman untuk diutus menjadi roti kehidupan yang dipecah-pecahkan bagi hidup dan keselamatan sesama, khususnya bagi mereka yang miskin, lemah dan tersingkir.
Dalam kenyataan itu Ekaristi menemukan makna dan hakikatnya sebagai roti hidup yang menjadikan manusia memiliki hidup dan memperoleh keselamatan serta kehidupan sejati yaitu kehidupan bersama yang berlandaskan kasih persaudaraan dalam kesatuan dan kesesuaian dengan kehendak Allah.
Dengan demikian Ekaristi bukanlah perjamuan makan, bukan pula hanya suatu ritual perayaan sakramen atau upacara keagamaan. Melainkan suatu peristiwa yang menghadirkan kembali misteri kurban, wafat dan kebangkitan Kristus secara sakramental di sini, saat misteri itu dirayakan dalam liturgi Ekaristi.
Misteri serta realitas tersebut adalah suatu ‘drama keselamatan’ bagi manusia dan pemulihan seluruh alam ciptaan. Karena itu, Ekaristi adalah perayaan kehidupan yang menuntun dan mengarahkan umat beriman dalam menampaki pergaulan hidup sehari-hari dengan berkat dan rahmat Kristus yang senantiasa menuntun dan menyertai hidup manusia sampai pada kepenuhannya.
Versi asli artikel ini dimuat di Jpicofmindonesia.com
Komentar