Katoliknews.com – Salah satu hal yang kerap dibahas terkait Misa online atau Misa via live streaming adalah umat tidak bisa menerima hosti kudus.
Lantas, pada saat liturgi sampai pada tahap penerimaan komuni, umat hanya bisa memandang Sakramen Maha Kudus yang ditempatkan di altar. Imam lalu mengajak umat untuk mendaraskan doa komuni batin.
Apa maksud komuni batin itu? Apakah ia bisa menggantikan komuni sakramental?
Pastor Andre Atawolo, OFM, dosen teologi dogmatik di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara mengurai hal ini dalam salah satu tulisan di blognya, Andreatawolo.id.
Imam yang rajin mengunggah tulisan-tulisan teologis dan pastoral itu menjelaskan bahwa “komuni batin memang berbeda dari komuni sakramental.”
Namun, kata dia, Gereja Katolik, meski membedakan keduanya tetapi juga serentak tidak memisahkannya.
“Yang pertama tanpa Hosti Kudus, jadi sebagai kerinduan saja; yang kedua dengan menerima hosti kudus,” tulisnya.
“Tentu kerinduan yang dimaksud bukan kerinduan kosong: semakin kuat kerinduan semakin dalam merasakan kesatuan dengan Tuhan,” tambahnya.
Ia menjelaskan, komuni batin memang bertujuan memenuhi kerinduan spiritual, sehingga wajar jika banyak orang tetap merasa belum utuh, karena ‘hanya’ kerinduan.
“Nah, soalnya di sini bukan apakah komuni itu utuh atau tidak utuh. Bukan. Soalnya apakah seseorang sungguh percaya atau tidak pada daya rahmat Tuhan melalui komuni batin,” tulisnya.
“Ketika komuni batin diukur melulu dari pihak manusia, tentu sulit dimaknai,” jelas Pastor Andre.
Komuni batin, kata dia, juga “jangan diukur dari diriku sebagai individu.”
“Butuh keyakinan bahwa kerinduan seorang beriman dilengkapi oleh doa-doa gerejani yang diwakili oleh imam sebagai wakil Kristus,” jelasnya.
“Jadi, rahmat Tuhan melalui Gereja melengkapi kerinduan setiap orang. Apa yang kurang padaku dilengkapi oleh Gereja sebagai persekutuan. Saya tidak berdoa sebagai individu, tetapi dalam persekutuan dengan Gereja,” tambahnya.
Ia menambahkan, hal yang juga perlu disadari umat beriman adalah jangankan komuni batin, dalam komuni sakramental pun kita semua manusia patut menyadari bahwa kekurangan dan dosa itu selalu ada.
Ia pun teringat akan seorang rekannya sesama pastor yang lebih memilih nada negatif dalam ajakan di awal Misa, kira-kira begini: ‘marilah di awal Ekaristi ini kita mohon kerahiman Tuhan agar ketaklayakan kita berkurang.’
“Penekanan itu bukan bermaksud menambah pesimisme manusia, tetapi agar kita sungguh sadar bahwa sesungguhnya tidak ada manusia yang layak di mata Tuhan. Kesadaran itu diakui, bukan supaya menjadi apatis saja, tetapi agar orang semakin terdorong untuk membuka hati pada daya kerja rahmat: logika rahmat selalu melampaui logika manusia,” tulisnya.
Apakah Bisa Hosti Dikonsekrasi Secara Daring?
Pastor Andre juga menyinggung soal fenomen di mana ada orang, yang ia sebut contoh sebagai si A yang membeli hosti dari sebuah toko rohani, meletakkannya di dekat TV atau gawai selama Misa online lalu mengkonsumsinya sebagai Tubuh Kristus setelah tindakan konsekrasi dari imam.
“Tentu tindakan si A ini tidak sesuai dengan ritus sakramen Ekaristi: ia perlu memahami bahwa Gereja tak membenarkan konsekrasi online,” jelasnya.
Ia menyatakan, dari pihak imam pun, tidak bijak mengklaim bahwa karena sebagai imam actus konsekrasi atas roti dan anggur berdaya ‘menembusi layar’ sehingga umat boleh menyediakan hosti di rumah selama Misa online.
“Lebih tak layak kalau hal ini dibenarkan dengan motif kedekatan emosional, misalnya karena keluarga atau pertemanan,” tulisnya.
Dalam hal ini, kata dia, paroki dan keuskupan perlu memikirkan cara kreatif untuk mendatangi umat demi menjawab kerinduan akan Tubuh dan Darah Kristus.
“Seorang agen pastoral perlu dipersiapkan agar dalam situasi khusus ini dapat ‘membawa’ Yesus kepada mereka yang sungguh merindukan Dia: misalnya orang sakit, orang tua, dan orang dengan disabilitas,” tulisnya.
Komentar