Oleh: RP DESIDERAMUS ANSBI BAUM, OFM
Sebelum pandemi COVID-19 yang hingga kini masih terus kita hadapi, situasi gereja-gereja yang hampir kosong, peribadatan lengang, sudah terjadi. Bahkan, kita mendengar gedung-gedung gereja dibongkar atau kalau tidak dijadikan museum. Itu terjadi bukan karena dipaksa oleh keadaan sebagaimana saat ini, juga bukan karena makin banyak yang menanggalkan status sebagai orang Katolik. Bukan. Mereka memang dengan sengaja memilih demikian.
Apa pemicunya? Karena orang tidak menemukan daya hidup dari sana: dari Gereja sebagai persekutuan, dari ibadat, dari Misa. Apalagi, manusia zaman ini meyakini dan hidup dengan kepercayaan teguh bahwa ‘apa-apa’ yang perlu untuk kelangsungan dan kebahagiaan hidup tersedia oleh ilmu pengetahuan, teknologi, sains, uang, kuasa, dan tentu saja alam. Segala-galanya menggantikan dan menggeser posisi Tuhan. Mereka ditempatkan sebagai tuhan-tuhan baru.
Di tempat kita barangkali gejala itu sudah mulai ada. Beriman dianggap sebagai lelucon, suatu sikap kekanakan dalam perkembangan pikiran manusia. Bahkan, iman itu dianggap sebagai penyakit yang menghambat perkembangan-modernitas dan membuang-buang waktu. Beragama barangkali dianggap tidak lebih dari sekadar seperangkat alat sosial untuk menyatukan sebuah komunitas dan demi keamanan administrasi. Karena itu, satu waktu, ketika saya bertanya kepada seseorang, apa gunanya beragama? Ia menjawab, “Untuk lahir, sekolah, nikah, dan mati.” Sementara kepada orang lain, ketika ditanya kenapa tidak ke gereja, ia menimpali, “Dari sana saya tidak mendapat beras!”
Meyakini dua jawaban tadi sebagai kebenaran, tentu sangat simplisistik, picik, dan menggampangkan segalanya.
Akan tetapi, kalau kita melihat lebih jauh, jawaban-jawaban itu barangkali muncul dari pengalaman, dari keadaan batin, dari suatu pandangan dan sikap tertentu atas iman, agama, dan Gereja. Terutama dari pengalaman bahwa dalam agama orang tidak menemukan keamanan dan kenyamanan, di gereja ia tidak menemukan rumah, dengan beriman ia tidak mengalami kasih. Tidak menemukan kasih yang memberikan kekuatan rohani dan jasmani, kedamaian spiritual dan sosial. Tidak mengalami kasih yang menyembuhkan, meneguhkan, dan menguatkan diri pribadi dan orang lain untuk menjalani hidup ini. Orang tidak berjumpa dengan Tuhan di sana. Sehingga tepatlah apa yang dikatakan Linda Woodhead: “Agama-agama akan berjalan dengan baik dan selalu berhasil ketika mereka dapat meyakinkan orang secara subjektif, atau tepatnya ketika Anda memiliki perasaan bahwa Tuhan bekerja dalam diri Anda.”
Inilah jenis tantangan zaman ini, jenis penganiayaan zaman ini, penderitaan zaman ini: mana kala orang tidak mengalami dikasihi dan tak mampu mengasihi. Ketika komunitas kristiani kita malahan berisi gosip, ketamakan, kesombongan, nafsu dan keinginan untuk dikagumi, dianggap paling suci, paling benar dan paling murni.
Ketika komunitas kita malah menjadi tempat untuk menghakimi orang lain dan tidak peduli pada kesusahan, penderitaan, dan kerentanan orang lain. Atau, ketika Gereja dan agama kita menjadi sarang penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan hati nurani, tempat terjadi berbagai pelecehan.
Pendek kata, komunitas kita berisi ragam dosa yang terus menerus menjalar di dunia (Rom. 5:12) bahkan menghantam jantung Gereja: imam, biarawan/biarawati, dewan paroki, pengurus-pengurus komunitas dan, kita semua: umat! Apa dosa itu, yakni kasih yang telah menjadi dingin. Dan kalau demikian, orang mudah lari ke bentuk-bentuk kuasa lain yang bukan Tuhan: ‘manusia-dunia’, uang, dan teknologi.
Tentu tidak ada salahnya dan sama sekali tidak salah ketika kita menggantungkan cita-cita pada kekuasaan, sedikit pada uang, pada teknologi, pada sains, pada ilmu pengetahuan, dan pada alam. Sebab, semuanya itu diberikan kepada dan diusahakan oleh manusia sebagai anugerah. Akan tetapi, hal-hal itu barangkali menjadi bermasalah ketika semuanya dicari dan diusahakan tanpa paradigma-pedoman kasih serta dicari dan dijadikan tuhan baru.
Kejahatan, kebobrokan, dan dosa Gereja, barangkali diam-diam melemahkan iman kita. Dan tentu saja, bila kita makin mengakui bahwa tidak ada kasih di dalam Gereja, tidak ada pengampunan di dalam komunitas kristiani, hilangnya kepedulian dan matinya bela rasa dari persekutuan umat beriman, kita mulai mudah lari dari persoalan dan saling mempersalahkan.
Kita mudah mempersalahkan para imam, para pengurus dewan paroki, pengurus komunitas, dan umat beriman lain. Tanpa pernah bertanya dalam diri: “Apa yang mesti aku lakukan untuk menampakkan kasih kristiani itu? Apa yang mesti aku lakukan untuk bertahan dalam iman dan mengajak semua orang lain bertahan dalam iman? Atau jangan-jangan saya juga menjadi penyebab orang lari dari Gereja, lari dari agama, lari dari Kristus?”
Maka, di tengah berbagai kekuasaan dosa, apa pun jenisnya. yang membelenggu kekebasan dan kemerdekaan kita menjadi orang-orang kristiani, yang membuat kita takut dan malu mengaku beriman kristiani, kita dipanggil dan ditantang untuk sungguh-sungguh mengakui Kristus Tuhan itu.
Tugas kitalah untuk terus-menerus berbicara, terus-menerus berkata, terus-menerus bertindak, dan menghidupinya agar makin banyak orang mengalami kasih. Itulah maksud Tuhan berbicara untuk kita di zaman ini: “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga (Mat. 10:32-33).
Sebelum terakhir: Kita mesti ingat bahwa masih banyak orang beriman, termasuk ‘kita-kita’ ini, yang mampu mendengarkan Kristus yang berbicara dalam gelap kepada kita, yang mampu menangkap bisikan-Nya di telinga kita (bdk. Mat. 10:27).
Buktinya: Sejarah kristianitas bertumbuh dan bertahan sejak Yesus hingga sekarang terutama karena ia memiliki etos kasih; karena banyak orang kristiani mampu mengampuni dan merangkul kelemahan-kerentanan; mampu berbelas kasih-merawat orang sakit dan menderita; sehingga lebih banyak orang selamat dari macam-macam penderitaan, kesusahan, bahkan wabah penyakit. Termasuk kalau sekarang kita menunda untuk membuka gereja, pilihan yang diambil dengan pertama-tama mempertimbangkan keselamatan semua. Deus caritas est!
Penulis adalah seorang Fransiskan, tinggal di Meratus, Kalimantan Selatan
BACA JUGA: Allah yang Akbar Sekaligus Merendah
Komentar