Katoliknews.com – Sosok Beato Carlo Acutis, programmer komputer asal Italia, yang dibeatifikasi di Assisi, Italia pada 10 Oktober 2020, kata Romo Antonius Haryanto, bukanlah sosok seperti pohon pisang.
Kalau pohon pisang hanya memiliki jantung, sosok Acutis memiliki jantung sekaligus memiliki hati. Hal itu tampak dalam seluruh langgam hidupnya, kendati hanya lima belas tahun, melalui kesetiaannya pada doa dan perhatian bagi orang miskin.
Hal itu diungkap Sekretaris Kepemudaan KWI itu dalam sesi webinar menyambut beatifikasi Carlo Acutis yang diselenggarakan Penerbit dan Toko Rohani OBOR pada 10 Oktober 2020, pukul 14.00 – 16.00 WIB. Seminar ini mengusung tema “Hidup Suci, Nggak Harus Nunggu Tua?”.
Romo Hary, sapaannya, menambahkan, sosok Acutis memberikan terang kepada semua orang bahwa “menjadi suci memang tidak harus dengan menjadi tua terlebih dahulu, siapa saja berhak dan dipanggil untuk menjadi suci.”
Beatifikasi Acutis, lanjutnya, menunjukkan gambaran “Gereja yang muda, bukan dari segi usia, melainkan Gereja yang energik, produktif, inovatif, dan terus membarui dirinya.”
Selain itu, lanjutnya, beatifikasi remaja 15 tahun itu menunjukkan, “seorang yang suci itu tidak harus imam, suster atau kaum berjubah, tetapi seorang yang muda, yang mengenakan jins, sepatu cats, jacket sporty, juga sangat mungkin menjadi suci.”
Ia menyakini, setiap masa Tuhan memanggil orang muda untuk memandu arah kehidupan menggereja. Namun, dari pengelamannya mendampingi orang muda, sering kali posisi anak muda itu dilematis.
Posisi dilematis, jelasnya, karena banyak label yang ditempelkan pada orang muda, seperti orang muda itu tulang punggung bangsa, orang muda itu harapan Gereja; kadang label itu menjadi beban karena tidak disiapkan secara matang.
Dinamika hidup menggereja, paparnya, jangan sampai lemes, mati gaya, loyo, tidak inovatif, tidak bergerak, tetapi harus bersemangat muda, yaitu produktif, energik, kreatif, dan inovatif.
Oleh karena itu, melibatkan orang muda, kata dia, sangat mendesak dan “bukan sekadar meminta mereka menjadi tukang parkir dan tugas ‘angkut-angkut’, melainkan terutama merangkul dan mengakomodasi ide-ide mereka.”
Sementara itu, Heri Cahyana, penerjemah dan penyunting buku “Mukjizat Ekaristi” karya Acutis, mengatakan bahwa sosok Carlo Acutis itu “orang yang biasa saja, anak yang suka komputer, anak yang baik, yang suka menolong orang.”
Dia mengatakan, dari perspektif anak muda kebanyakan, Acutis dipandang sebagai orang yang garing, “karena kalau diajak jalan-jalan sama papa mamanya dia lebih senang ziarah ke Assisi atau ke Fatima, main game hanya seminggu sekali,” berbeda dengan tendensi umum anak muda zaman ini yang cenderung menjadi budak teknologi.
Ia menambahkan, “Cara-cara Carlo menjadi kudus juga biasa, kita semua bisa,” tapi lanjutnya, belum tentu kita juga bisa karena karena Carlo sungguh mengigini kekudusan itu sehingga ia upayakan sungguh-sungguh dalam hidupnya melalui Ekaristi, Rosario, Pengakuan Dosa dan karya-karya amal bagi para tunawisma.
Senada dengan hal itu, Romo Agustinus Himawan, Direktur PSDM KWI, mengungkapkan, kekudusan bukanlah terutama pemberian, “tetapi harus kita miliki, harus kita raih, harus kita usahakan dalam hidup kendati tidak harus diberi gelar santo atau santa.
Menguti pepatah lama yang mengatakan ora et labora, kata Romo Agus yang juga narasumber dalam seminar itu, sebagai orang Katolik di zaman ini kita pun demikian. “Carlo Acutis tekun berdoa, Ekaristi, Rosario, dan dia berkarya melalui talenta yang dimilikinya yaitu membuat website katalog mukjizat ekaristi.”
“Kita apa? Kita melaksanakan perutusan kita masing-masing di mana pun dengan sepenuh hati, itulah kabar baik yang kita bagikan kepada orang lain; itulah cara untuk menjadi suci,” tutup manDirektur OBOR itu.
Ian Saf
Komentar