Lembaga advokasi milik Gereja Katolik di Pulau Flores mendukung upaya dua orang petani yang menggugat gubernur dan bupati terkait penerbitan izin tambang batu gamping dan pabrik semen.
Isfridus Sota dan Bonevasius Yudent, warga Kampung Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur melayangkan gugatan untuk Bupati Andreas Agas dan Gubernur Victor Bungtilu Laiskodat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Kupang terkait penerbitan izin untuk PT Istindo Mitra Manggarai, perusahan tambang batu gamping – bahan baku pabrik semen dan PT Semen Singa Merah NTT, perusahan pabrik semen.
Romo Marthen Jenarut, Ketua Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Keuskupan Ruteng dan Valens Dulmin, staf advokasi JPIC OFM Indonesia bergabung bersama tiga pengacara lain sebagai penasehat hukum para petani.
“Saya bergabung di dalamnya karena berkaitan dengan pilihan perjuangan membela hak-hak dasar masyarakat dan membela keutuhan lingkungan dan ekosistem,” kata Romo Marten.
“Salah satu bentuk pilihan perjuangan ini melalui advokasi litigasi,” tambahnya.
Valens mengatakan perusahan hanya menunggu waktu untuk mulai beroperasi dan menggusur lahan-lahan masyarakat, setelah izin diterbitkan pada 23 November untuk lahan lebih dari 500 hektar milik warga di Kampung Lengko Lolok dan di kampung tetangga Luwuk.
Ia menyebut gugatan ini dilakukan setelah upaya advokasi selama ini gagal menghentikan langkah pemerintah menebitkan izin tambang dan pabrik semen itu.
Ia menjelaskan, dua petani yang menggugat itu merupakan perwakilan dari warga yang sejak awal rencana kehadiran perusahan konsisten menolak, karena merasa bahwa hak-hak mereka akan hilang.
“Kehadiran perusahan membuat penggugat kehilangan hak atas tanah, mata pencaharian dan penghidupan, mata air serta hak untuk menikmati masa depan serta keberlangsungan hidup keluarga dan keturunannya,” katanya.
Elias Sumardi Dabur, pengacara lain mengatakan, proses pengurusan izin tidak memenuhi unsur transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Ia menjelaskan, pihak pemerintah dan perusahan mengabaikan suara masyarakat yang menolak dan hanya berkongkalikong dengan Damianus Demas, warga yang mengklaim dirinya pemilik atau penguasa dari bidang-bidang tanah hak ulayat.
“Padahal tua adat tidak memiliki kewenangan untuk mengklaim bahwa dia untuk dan atas nama masyarakat adat dapat melakukan penyerahan hak atas tanah pada pihak lain tanpa melalui proses musyawarah untuk mufakat bersama masyarakat adat,” jelas Elias.
Ia menegaskan, penggugat tidak pernah memberikan persetujuan dan atau melepaskan hak kepemilikan atas lahan mereka.
Selain itu, tutur Elias, penggugat juga berpotensi mengalami kerugian dari aspek lingkungan hidup karena tidak akan menikmati lingkungan hidup yang sehat.
“Objek gugatan itu diterbitkan di atas wilayah ekoregion karst dan cekungan air tanah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai wilayah yang harus dilindungi dan dipertahankan demi menjaga keberlangsungan eksistensi lingkungan hidup yang sehat,” katanya.
Sejak awal kontroversi kehadiran perusahan tambang dan pabrik semen ini, Gereja Katolik telah aktif mengambil langkah penolakan.
Uskup Ruteng, Mgr Siprianus Hormat juga pernah mengunjungi Kapel Stasi Luwuk pada tahun lalu dan secara simbolis menanam pohon di depan gereja sambal berpesan kepada umat setempat agar menjaga lingkungan hidup.
Komentar