Katoliknews.com – Ketika diminta oleh panitia kecil ini (Komunitas Kopi Minor-red) untuk mendampingi Pater Eras Baum OFM (selebran) dalam misa mengenang kepulangan Pater Petrus Canisius Aman OFM pada setahun yang lalu, tepatnya pada 15 Desember 2020, saya mulai mencari-cari apa yang saya mau katakan malam ini. Akhirnya, saya terbantu oleh dua bacaan dalam perayaan Ekaristi ini, yakni Yesaya 25:6a-9 dan Yohanes 17:6-11.
Awalnya saya beri judul renungan ini dengan judul yang diberikan oleh panitia: “Pater Peter, Seorang Imam Pejuang”. Tetapi, kemudian saya ingat lagi ada Pater Eras OFM, yang memimpin misa. Maka, saya coret lagi judul tersebut. Lalu, saya beri judul yang mungkin lebih dekat dengan gambaran perjamuan bacaan pertama: Suatu perjamuan dengan makanan bergemuk (Lih. Yes. 25;6). Karena itu, saya memberi judul baru: “Yang Lebih Enak dari Kepala Babi.” Jadi, seluruh cerita ini adalah kita akan melihat apakah ada yang lebih enak dari kepala babi.
Kita semua mengenal dan mencintai Pater Peter. Dan, kita semua hadir pada malam ini untuk mendoakannya. Nah, kita tidak asing juga dengan kata Petrus, kata Peter, dan banyak juga dari kita tahu arti kata itu. Sering kali kata yang terungkap adalah Petrus itu batu karang. Dan, saya melihat pada “imam pejuang” itu keras seperti batu dari seluruh pemikiran, perjuangan, dan komitmennya.
Sekeras karanglah ia berjuang untuk membela orang-orang kecil. Selalu dan sering kali ia mengutip St. Fransikus perihal kerendahan hati untuk selalu menempatkan orang miskin sebagai guru. “Orang miskin adalah Guru kita!” Sebagai ahli moral, dia terlibat dalam diskursus di level intelektual untuk membela orang kecil sekaligus piawai menyampaikan pikirannya yang cemerlang dengan memakai bahasa rakyat yang sahaja. Secara khusus dalam konteks advokasi di Manggarai: Ia adalah pengkhotbah dan pembicara yang tiada tandingannya untuk berbicara dalam bahasa rakyat dan begitu memikat.
Komitmen yang sekuat dan setabah karang ini juga yang membuatnya tahan bahkan Ketika berhadapan kekuatan gelombang yang besar dalam kerja advokasi JPIC OFM Indonesia. Hemat saya, ia adalah pribadi dan pemikir yang kuat dalam melawan gelombang seperti batu karang itu, tidak goyah, kuat, dan siap sedia menghadapi gelombang model apa pun baik di dalam hidup, pemikiran maupun terutama dalam perjuangan mewujudkan dan menegakkan nilai-nilai JPIC (Justice, Peace, and Integrity of Creation).
Gelombang besar yang menghantam itu adalah pemerintah, yang sering kali membuat kebijakan yang merusak lingkungan hidup dan merampas hak-hak warga: orang miskin, orang-orang kecil. Ia terlibat dengan segala kecerdasan dan komitmen moralnya bersama rakyat melawan tambang di wilayah Flores, Lembata, dan beberapa tempat lainnya. Segi penting dari perjuangan ini adalah mengkritisi kekuasaan-kekuasaan lokal, Pemda yang kerap kali lebih senang menjadi pion-pion korporasi daripada berdiri di pihak warga miskin.
Gelombang besar yang menghantam karang yang keras ini juga sering kali adalah otoritas-otoritas Gereja Lokal; yang juga sering kali terombang-ambing dalam keterlibatan: sebab sering kali merangkul pemodal dan kekuasaan lebih menarik dan wangi daripada mengayomi rakyat yang berbau tanah, belerang, dan keringat perjuangan di tanah-tanah mereka.
Bahkan, ketika berhadapan kekuasaan Gereja Lokal dan harus mengambil sikap yang berbeda dan arah perjuangan yang lain sama sekali, ia punya satu kalimat yang juga akhirnya membuka jalan ke arah diskursus: “Ketaatan kita bukan kepada orang (entah uskup, vikjen, vikep, dan sederetnya). Ketaatan kita adalah kepada nilai, yakni Keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.” Dan, dalam kaitan dengan itu, ketika otoritas mulai menunjukkan gelagat merelatifkan nilai-nilai dan berkompromi demi kepentingan, Peter Aman juga punya satu kalimat yang seperti mengalir begitu saja dari mulutnya: “Jangan meninggalkan orang-orang kecil. Pastikan bahwa kita ada di pihak mereka.”
Sikap enggannya terhadap kompromi pernah ia ungkapkan dalam tulisannya berjudul “Gereja Yesus Kristus, Bukan Gereja Pilatus” dalam buku Gereja Itu Politis (Rikard Rahmat, 2012), “Tidak ada pilihan dan kompromi bagi Gereja dalam tugas perutusannya. Jika setia mengikuti Yesus Kristus Sang Pemimpin, Gereja dituntun mengikuti jalan salib. Doa Yesus di Taman Getsemani adalah spirit utama komitmen Gereja dalam mewujudkan keadilan. Gereja tidak menjalankan kehendaknya sendiri, tetapi kehendak Dia yang mengutus Yesus Kristus ke dunia. Itulah sebabnya Gereja tidak bisa mencuci tangan terhadap persoalan-persoalan keadilan yang mendera hidup manusia dan menghalangi perwujudan kerajaan Allah. Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik ini adalah Gereja Yesus Kristus dan bukan gereja si Pilatus yang memilih mencuci tangan dan tak peduli pada hidup manuisa dan keadilan.”
Peter Aman dalam seluruh perjuangan di JPIC OFM, hemat kami, adalah juga berusaha mewujudkan Gereja Yesus Kristus ini. Ia mau menempuh jalan salib. Ia resah dengan persoalan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Dan karena ini pula, ia sering kali menempuh pilihan yang tidak seperti namanya: Aman, yakni pilihan-pilihan yang tidak aman, pilihan-pilihan untuk berhadapan kekuasaan, pilihan untuk dibenci; pilihan untuk dijauhi banyak orang yang begitu dekat dengan kekuasaan dan modal.
Sebagai pejuang, ia sangat gigih dalam pemikiran dan juga sangat menguasai Ajaran Sosial Gereja (ASG). Ia penuh komitmen dalam perjuangan dan tidak pernah mendua. Ia setia pada gurunya, yakni orang-orang miskin, mereka yang hak-haknya diabaikan penguasa dan pemodal, dan ia selalu memastikan untuk selalu di pihak gurunya itu dalam segala situasi: Jangan meninggalkan masyarakat; jangan meninggalkan orang-orang kecil.
Di samping itu, sebagai pejuang, ada suatu hal lagi yang menarik dari saudara kita ini. Bahwa ia juga selalu awas, hati-hati berhadapan dengan godaan mencari popularitas dalam seluruh perjuangannya. Baginya, JPIC adalah kristalisasi nilai-nilai Injil yang tidak boleh tidak ada dalam membangun Kerajaan Allah di dunia ini. JPIC adalah sebuah teologi yang terlibat. Dan, ia menghidupi itu selama dan seluruh hidunya. Juga, selalu dia ingatkan bahwa JPIC mesti merasuk ke bagian-bagian yang paling dalam dari cara berada sebagai fransiskan dan juga sebagai orang-orang yang mencintai Santo Fransiskus Assisi.
Sekadar Penutup
Pater Peter, imam pejuang
engkau telah berusaha
membangun rumah
dengan fondasi kebaikan
tiang-tiang keadilan, perdamaian,
dan keutuhan ciptaan…
Doa kami semua malam ini:
Semoga Tuhan melengkapi usahamu dengan belas kasih dan pengampun-Nya
dan memberimu kediaman yang abadi.
Malam ini kami mau bercerita
dan engkau selalu menjadi bagian dari cerita kami
tentang malam yang merambah cerah siang
di tanah congkasae ini dan di mana pun di negeri ini:
tentang gombal-gombal geothermal di seluruh Flores,
tentang pariwisata dan pariwisetan…
candu investasi yang merasuk birokrasi, gamping dan peruhana semen …
tentang banyak lagi dan semoga kita akan bertahan:
Bukankah bagi engkau dengan semangat mudamu:
tidur tak pernah lebih penting dari wacana dan diskusi…???
Malam ini
Kalau ada yang lebih enak dari kepala babi dan lebih kuat dari sopi kobok,
lebih sejuk dari bir hitam dingin yang kita beli di jembatan besi dekat pasar gembrong:
itu adalah doa kami.
Imam Pejuang, Saudara dan Guru…
beristirahatlah di rumah abadi!
Tetapi semoga engkau pun tidak diam di kediaman yang abadi tentang perjuangan-perjuangan dan berdoa untuk kami agarl bersatu di jalan perjuangan demi keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. )*
Tulisan ini adalah renungan Pater Johny Sevi Dohut OFM dalam misa setahun berpulangnya Pater Petrus Cansius Aman OFM, yang digelar oleh Komunitas Kopi Minor-Jakarta. Pater Johny, sapaannya, saat ini berkarya sebagai Koordinator JPIC OFM Flores dan Ekopastoral Fransiskan, Pagal, NTT.
Komentar