Katoliknews.com – Setelah setahun lewat, barulah saya dapat memberi catatan tentang Petrus Canisius Aman OFM (PCA). Bukan karena alasan lain, tetapi terutama karena semenjak kematianya, saya belum menganggap dia telah meninggal. Perihal kematiannya pun, sulit bagi saya menerima dan menelusuri maknanya: entah dari yang Kristiani sampai yang Stoik, dari yang Fransiskan sampai yang Buddhis, dari yang lokal Manggarai sampai yang modern-Heidegger. Memang, betul seperti dikatakan banyak orang, ketika kita mengalami kematian kerabat, tak ada khotbah, renungan-renungan filosofis dan nasihat yang mempan masuk ke dalam hati dan pikiran kita. Saya pun begitu.
Tetapi setelah setahun berlalu, saya mau sedikit bercerita tetang apa yang saya lihat dan alami mengenai PCA. Mungkin cerita berikut ini berisi hal-hal yang ‘mengganggu dan menantang’ saya, dari cara hidupnya. Saya awali dengan cerita lama yang selalu terngiang-ngiang di kesadaran saya, jika saya diminta merayakan ekaristi dan berkhotbah tentang kematian. Bila hendak merumuskan cara hidup PCA yang menantang dan mengganggu saya, maka sedikit hal yang bisa dikatakan adalah lewat cerita tentang ‘dialog antara induk ayam dan anak ayam’, berikut ini.
Jauh di pulau yang sendiri, sekumpulan anak ayam bersama induknya mengais makanan dekat jalan raya. Entah kenapa, seekor anak ayam bertanya kepada ibunya, “Mama, kenapa manusia itu suka panjang-panjang namanya?” “Maksudnya bagaimana anakku?” tanya ibunya. “Begini Mama, waktu kecil, nama manusia misalnya Mataleso. Setelah dibaptis Katolik namanya menjadi Lucius Fidelius Mataleso. ketika masuk biara, namanya menjadi Frater Lucius Fidelius Mataleso. Untung saja dia tidak kuliah lanjut, kalau tidak namanya menjadi Prof. Dr. Pater Lucius Fidelius Mataleso, S.Fil. M.Hum. M.A. PhD., OFM.”
Belum sempat ibunya menjawab, pembicaraan mereka terpotong bunyi sirene ambulance yang sedang lewat. Si anak ayam bertanya, “Itu apa, Mama?” “Ah, itu mobil jenazah?” “Apa itu jenazah, Mama?” Tanya si anak ayam. Lalu si induk ayam berkata, “Nah, Anakku, kalau manusia mati, hilang semua nama yang panjang-panjang itu. Mereka hanya disebut dengan istilah jenazah. Beda dengan kita,” kata induk ayam kepada anak-anaknya.
“Kalau kita mati, tergantung cara kita diolah, begitu juga nama kita akan dikenal. Kalau digoreng, kita dikenal sebagai ayam goreng, kalau dibakar, jadi ayam bakar, kalau diopor, jadi opor ayam, kalau di sate, jadi sate ayam. Apalagi kalau kita diolah orang Amerika, kita akan disebut Kentucky Fried Chicken. Keren, kan? Kita dikenal karena pengorbanan kita,” begitu induk ayam memberi penjelasan tambahan kepada anak-anaknya.
Cerita itu saya dengar dari orang lain. Dahulu makna cerita itu agak susah dimengerti. Tetapi dengan berjalannya waktu, ketika menghubung-hubungkannya dengan cara hidup mendiang PCA, saya mulai paham makna cerita itu. Hidup PCA berisi aneka pengorbanan. Dia setia dalam ‘perkara-perkara kecil’, maka dia didapati setia berkorban dalam ‘perkara-perkara besar’ terutama dalam pelayanannya di JPIC di mana dia dikenal banyak orang.
Pertama. Sejauh dapat saya ketahui di Komunitas OFM, PCA adalah satu-satunya orang yang paling sedikit waktu tidurnya. Di Komunitas Kupertino Galur (JPIC OFM Indonesia), tidur hanya boleh pada malam hari, siang dilarang. Saya tidak pernah melihat dan mendengar PCA tidur siang. Kalau saya sendiri yah enak, masih bisa curi-curi kesempatan, terutama saat PCA tidak ada di komunitas. Dan kalau tidur, biasanya saya mau tidur lama, dan kalau sangat nyenyak sering kali terlambat bangun atau sama sekali tidak mengikuti acara komunitas, apalagi kalau siangnya kerja banyak dan malam ngobrol sampai larut-pagi pasti terlambat.
Sementara PCA, entah dia pulang larut malam setelah bekerja atau tidur larut malam setelah rekreasi dan ngobrol bersama kami anggota komunitasnya, dia selalu bangun pagi. Tidak pernah sekali waktu pun PCA tidak mengikuti acara komunitas, kecuali kalau dia sedang pelayanan di ‘luar komunitas’. Bahkan, kalau kami sama-sama ngobrol sampai larut malam, selalu sebelum setengah enam pagi, PCA sudah berada di kapela. Sementara kami yang lain masih antre biasanya sambil merem di dekat kamar mandi.
Menurut pendapat subjektif saya, salah satu sebab kenapa PCA sakit adalah karena dia kurang tidur. Dia kelelahan, persis setelah dia pulang dari pelayanan di luar komunitas, tetapi tetap setia mengikuti acara bersama, setelah misa pagi dan saat makan pagi bersama, dia collapse. Itulah bentuk pengorbanannya. Mencintai persaudaraan dan komunitas, sampai sakit (St. Theresa dari Kalkuta). Barangkali terlihat konyol berkorban seperti itu, mencintai seperti yang dilakukannya.
Namun, bagi saya, itulah tanda kesetiaanya pada perkara-perkara biasa yang dihayatinya dengan semangat cinta yang luar biasa. Karena kesetiaan pada hal-hal kecil itulah, namanya kemudian menjadi sinonim komunitas Kupertino Galur, menjadikannya mampu setia pada lembaga yang menjelma tonggak penting JPIC OFM Indonesia, dan barangkali disegani di OFM Indonesia dan dunia, entah di Gereja Indonesia. Ia bersikeras berkorban untuk kehidupan komunitasnya, setia pada hal-hal kecil dan juga tentu orang-orang kecil. Ia menang dalam perkara kecil. Tapi, akhirnya mungkin ia dibikin mengerti apa artinya setia pada perkara kecil: “sakit karena kurang tidur.”
Tentang tidur itu, masih ada hal yang harus saya ungkapkan. Sekali waktu saya terlambat bangun pagi; tidak sempat mengikuti ibadat dan perayaan ekaristi. PCA menyuruh seorang saudara membangunkan saya untuk makan pagi. Sesampai saya di kamar makan, PCA berkomentar singkat, “Olee… para buruh sudah sejak jam lima di tempat kerja, kita yang di biara masih ngorok,” diikuti tawa gelak saudara-saudara yang lain. Saya pun pura-pura ketawa. Itu makan pagi yang paling sengsara dalam hidup saya, walaupun selama makan, PCA tidak pernah berkomentar tentang keterlambatan bangun tidur itu.
Apa pun situasi batin saya waktu itu, tetapi yang bermakna dan khas dari tegurannya, ini: persoalan tidur dapat menjadi tantangan solidaritas. Ia sendiri sering mengulang hal sederhana ini dalam setiap obrolan kami: ‘Cepat bangun pagi itu bentuk solidaritas dengan kaum buruh’. Begitulah, di tangan PCA, hal sederhana menjadi bermakna: berdimensi pengorbanan, bercorak solidaritas. Tidur menjadi problem solidaritas. Masih banyak hal sederhana lain yang dapat dicatat, seperti: rokok dan solidaritas-kesehatan, rambut gondrong dan masalah air, ‘cacah sampah dan ekologi- organik’, terlambat ke kampus-tidur di ruang kelas dan (lagi-lagi) solidaritas, dan lain-lain yang menunjukkan kualitas ke-JPIC-annya justru terletak dalam kesetiaan pada perkara-perkara sederhana itu.
Kedua. PCA termasuk orang yang jarang menegur dan menasihati saudara lain dengan kata-kata, apalagi dengan kata-kata yang keras dan kasar. Ia lebih menunjukkan dengan cara hidupnya. Lebih sering, bagi saya, cara hidupnya menjadi teguran dan nasihat. Kalau dia membersihkan toilet, mau tidak mau saya cari-cari kerja yang lain, kalau dia mencuci piring, saya purang-pura sapu teras, kalau dia sapu teras, saya cari cara untuk menyiram tanaman. Selalu tidak enak dan bikin beban, kalau dia bekerja sementara saya sok sibuk di kantor JPIC.
Sampai sekarang saya belum mafhum kenapa dia tidak menegur saudaranya yang berbuat salah. Barangkali karena dia mengerti bahwa dirinya juga sering bikin salah dan berdosa, termasuk peminum berat (tak pernah saya lihat mabuk), mantan perokok keras, si Peter kecil yang pernah membakar pondok orang, yang pernah melawan prefeknya di Seminari Kisol, yang pernah malas dan seterusnya dan seterusnya. Sesama pendosa tak boleh saling menegur apalagi menghakimi, cukuplah berusaha selalu berbuat baik walaupun juga sering gagal lagi selama masih manusia. Itulah nasihat terbaik: berkhotbah melalui perbuatan, seperti diharapkan Fransiskus Assisi yang diikutinya sebagai OFM.
Atau boleh jadi juga karena dia percaya bahwa setiap orang sebenarnya tahu apa itu dosa dan salah. Namun, sebab musabab orang jatuh dalam kesalahan dan dosa tidaklah single, tidak tunggal; seluas manusia sebagai misteri. Semakin dibuka-semakin dibahas, semakin kurang bahasa dan kata-kata untuk mengungkapkannya. Barangkali inilah kunci pentingnya: kerendahan hati untuk mengakui ketidakmampuan memahami manusia selengkap-lengkapnya, keharusan untuk mempertimbangkan keluasan manusia, penghormatan menghadapi martabatnya, seperti sering diajarkannya dalam kuliah-kuliah Moral.
Atau mungkin, dengan tidak menasihati orang melalui kata-kata yang keras apalagi kasar, PCA menunjukkan bahwa kita semua adalah orang-orang yang dapat bersalah dan berdosa lalu bertobat. Tidak ada kata-kata manusia yang mempan untuk membuat manusia lainnya langsung berubah. Semuanya butuh proses dan proses itu secara rohani disebut sebagai pertobatan yang terjadi selama hayat dikandung badan. Dengan nasihat dan teguran yang ditunjukkannya melalui cara dan teladan hidup, PCA menjadi tanda pertobatan. Itulah visi keadilan rohani dari kemanusiaan yang beriman, yang diperjuangkannya di JPIC, yakni hidup dalam pertobatan karena semua adalah pendosa.
Ketiga. Sering kali di Komunitas JPIC Galur, malam sebelum waktu tidur dimanfaatkan untuk bercerita tentang apa saja, dengan aneka tema dari yang serius sampai yang tidak jelas ujung pangkalnya. Tradisi ngobrol ini diisi dengan minum kopi atau moke atau bir. Tradisi ngobrol ini tentu tidak hendak mengesampingkan tradisi diskusi yang juga terjadi di JPIC. Tetapi, bagaimanapun, dalam setiap tradisi ngobrol ini, setiap yang hadir dilatih untuk bermain dengan aneka gagasan. Apa pun gagasannya, yang penting PCA memperlakukan siapa pun sebagai rekan ngobrol. Ia selalu memberi kesempatan kepada rekannya untuk ikut menimbang atau menguji atau bercerita tetang apa saja, tidak harus lengkap-sistematis dan tertib.
Dalam ngobrol itu, ia tidak duduk berseberangan meja, tidak pernah memosisikan diri sebagai Dosen STF Driyarkara, Direktur JPIC, Vikaris Provinsial OFM Indonesia, Kepala Komunitas Galur dan aneka jabatan lain yang diembannya, melainkan sebagai saudara, rekan, teman, kakak dan ayah yang baik. Ia tidak pernah hadir sebagai teman runding yang menuntut disiplin logika yang tinggi, walaupun omongannya selalu masuk akal. Ia tidak pernah mengusut, meminta penjelasan, membantah dan menuntut soal agar lebih jelas, luas dan jernih. Malahan semuanya tetap: ia sedang ngobrol dengan kawan karib, yang mengenal para saudaranya bahkan pun tamu-tamu yang sering datang untuk ngobrol saja di JPIC. Dan lebih sering ngobrol itu diisi dengan canda tawa yang meledak-ledak.
Mungkin karena ia adalah orang biasa, dari kampung kecil di Manggarai Timur, pernah bekerja sebagai pastor paroki di kampung, bergaul dengan orang-orang sederhana dan biasa-biasa saja, PCA tampak lebih sering bisa bersaudara dengan siapa pun dan mampu membuat Komunitas JPIC Galur menjadi tempat banyak orang dari aneka latar belakang datang ngobrol dan bersaudara satu sama lain. Dan tak ada yang salah dengan pola hidup mem-biara macam ini. Sebaliknya, itulah ciri hidup membiara Fransiskan, ciri persaudaraan yang ingin diperjuangkannya melalui JPIC.
Cinta, pengorbanan, solidaritas terangkum dalam ke-JPIC-an PCA. Itulah simpul tebaran cara hidup PCA. Seperti cerita tentang ayam yang dikenal karena pengorbanannya di awal tulisan ini, demikian juga PCA dikenal karena pengorbanannya bagi komunitas, persaudaraannya, orang-orang kecil, Gereja, negara dan dunia. Kematianya menjadi tanda hidupnya yang penuh dengan pengorbanan. Hal itu mengingatkan saya akan Yesus yang karena juga pengorbanan dan wafat-Nya di salib dikenal sebagai Deus Caritas est: KASIH. Bagaimanapun, cinta-pengorbanan-solidaritas-membuat saya melapangkan tempat untuknya dan di hati ini. Sebelum akhir, saya ingin mengakui bahwa saya tidak akan omong semua hal ini kalau PCA masih hidup dan saya harus mengakui bahwa tulisan ini tentu jauh dari tepat untuk memotret cinta, pengorbanan, solidaritas dan Ke-JPIC-an PCA.
Ansbi Baum OFM (Saat ini penulis sedang berkarya di Kalimantan Barat)
Komentar