Katoliknews.com – Ada skandal yang melahirkan iman. Dan, iman itu menjadi skandal. Mungkin dunia jadi lebih menarik kalau skandal diterima sebagai bagian dari cara Allah bekerja. Juga cara manusia menjawab tawaran diri Allah. Dan, mungkin juga dunia menjadi lebih ringan dan enak dijalani. Life is easy. Tetapi, kenapa kita membuatnya jadi sulit?
Mula-mula, pada awal masa dan waktu, ketika watu manga nguzan tana manga waran, segalanya tanpa moralitas atau moralitas terletak pada sebatang pohon. Namanya: pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk. Tetapi sebabnya kabur, manusia ciptaan itu ingin menjadi seperti Allah, mengetahui yang baik dan yang buruk. Manusia terbuai bujuk rayu ular, “pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” (Kejadian 3:5)
Lantas, manusia memakan buah tentang yang baik dan yang buruk itu. Sejak itu, ia mampu membedakan mana yang baik dan jahat. Ia menjadi pengukur moralitas. Namun, ia lupa bahwa ia tetap tidak dapat menjadi seperti Allah dan ia tidak dapat mengukur berdasarkan takaran Allah.
Manusia itu mengukur segala, membuat kategori baik dan buruk berdasarkan ukurannya sendiri. Misal, harusnya ia takut karena melanggar perintah Allah, namun justru ia memilih takut karena telanjang. Kini, moralitas tidak lagi meletak pada sebatang pohon, tetapi mengakar dalam diri manusia sendiri. Yang buruk bukanlah melanggar perintah Allah, tetapi ketelanjangan.
Patokan baik-buruk sekarang ditentukan oleh manusia sendiri. Manusia, ciptaan itu, memutuskan sendiri, mana yang baik dan mana yang buruk. Dengarkan kata-kata manusia itu, “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi” (Kej 3:10). Dan, sejak saat itu juga, hidup menjadi sulit. Tak mudah dijalani. Life is hard.
Tetapi, lalu Abraham memperanakkan Ishak. Ishak memperanakkan Yakub, Yakub memperanakkan Yehuda dan saudara-saudaranya. Yehuda memperanakkan Peres dan Zerah dari Tamar..…Salmon memperanakkan Boas dari Rahab. Boas memperanakkan Obed dari Rut. Obed memperanakkan Isai. Isai memperanakkan raja Daud. Daud memperanakkan Salomo dari isteri Uria………Yakub memperanakkan Yusuf, suami Maria. Maria mengandung dari Roh Kudus, ketika ia masih bertunangan dengan Yusuf, sebelum mereka hidup sebagai suami istri. Dari anak dara itulah, seorang anak laki-laki terlahir dan mereka akan menamai Dia Imanuel—yang berarti: ALLAH MENYERTAI KITA. (Mat. 1:1-23).
Salahkah cara kerja Allah itu? Yang memilih orang-orang yang jatuh dalam perbuatan yang memalukan; perbuatan yang menurunkan martabat menjadi bagian dari tim kerja-Nya? Kalau IA hanya menerima mereka, maka Allah mungkin menerima yang salah tanpa mengajak orang mengikuti perbuatannya. Suatu scandalum acceptum seperti petatah-petitih kuno: cintai orangnya, bukan dosanya.
Tetapi, kenapa justru Roh Kudus membuat Maria mengandung sebelum ia hidup sebagai suami-istri yang sah dengan Yusuf? Bukankah dengannya Allah terlibat dalam skandal, suatu scandalum datum dan IA sendiri melakukan skandal?
Amatlah sulit kalau hal itu diukur dari moralitas versi manusia. Namun, kalau kita mempunyai mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar, kita dapat menemukan jalan lain memahaminya (bdk. Matius 2:12).
Dalam diri Yesus, kita melihat Allah yang tidak memperhitungkan baik-buruk versi manusia. Allah itu menjadi kecil dan rendah dalam diri Yesus: tidak mempertahankan kesetaraan-Nya dengan Allah, tetapi menjadi sama dengan kita (bdk. Filipi 2:6-7).
Allah dalam diri Yesus itu dikandung Maria, lahir di kandang, hidup sebagai manusia yang tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya, wafat di kayu salib dan bangkit sendirian dalam keheningan kubur. Sungguh suatu Peristiwa Allah, Peristiwa Yesus Kristus yang penuh skandal.
Tetapi, apa arti semua itu? Tentu, IA mau menunjukkan diri-Nya sebagai Deus Caritas Est, sebagai Allah adalah kasih. IA mau menunjukkan bahwa manusia adalah juga makhluk yang pantas dikasihi apa pun keadaannya dan karena itu memiliki kemampuan untuk mengasihi siapa pun tanpa memperhitungkan baik-buruknya.
Atau barangkali, IA mau menegaskan bahwa manusia bukan pengukur moralitas dan manusia tidak punya hak mengukurnya, sebab “ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu” (Matius 7:2).
Pendek kata: Allah melakukan skandal untuk mengambil kembali moralitas dari manusia dan mengembalikannya pada sebatang pohon. Di palungan kita melihat itu, di salib kita memandangnya: KASIH.
Maka, setelah tiba waktu yang ditentukan, diutuslah Putra Bapa menjadi manusia, Pencipta semesta alam lahir dari perawan. Kayu, paku bahagia memangku pangkal hidup.
Bayi menangis terjepit pada palungan sempit. Tubuhnya dibungkus hebat oleh Ibu Maria. Kaki tangan seluruhnya terbalut erat-erat. Salib suci nan mulia, kayu paling utama. Tiada yang menandingi daun, bunga, buahnya. (Improperia, Keluh Kesah Tuhan II).
Dian B.
Komentar