Katoliknews.com – Saat pasukan keamanan Myanmar menindak para pengunjuk rasa pada 28 Februari yang melawan kudeta militer, Suster Ann Rose Nu Tawng tidak tinggal diam.
Tanpa gentar, ia berlutut di depan personel keamanan, memohon kepada mereka untuk tidak menembak warga sipil yang tidak bersenjata.
“Tembak saja saya jika kalian mau,” katanya. “Para pengunjuk rasa tidak memiliki senjata dan mereka hanya menyampaikan aspirasi mereka dengan damai,” katanya, seperti dilansir UCA News, media Katolik Asia.
Biarawati dari Kongregasi Suster St. Fransiskus Xaverius di Myitkyina, ibu kota negara bagian Kachin, mengenang bahwa petugas keamanan menyuruhnya pergi karena dia dalam bahaya besar, tetapi dia bersikeras dia tidak akan pergi dan siap untuk mati.
“Saya telah mempersiapkan diri saya bahwa saya akan memberikan hidup saya untuk Gereja, untuk rakyat dan untuk negara,” katanya.
Berbicara kepada UCA News pada tanggal 1 Maret, Suster Nu Tawng menjelaskan tentang bagaimana dia dua kali memohon kepada pasukan keamanan dan bagaimana dia membantu pengunjuk rasa melarikan diri dari pemukulan dan penangkapan.
Pada 28 Februari, terjadi pemogokan nasional terhadap kekuasaan militer karena ribuan orang melakukan protes yang memicu tindakan keras yang intensif oleh polisi dan tentara, di mana sedikitnya 18 tewas dan banyak yang luka-luka.
Biarawati berusia 45 tahun itu ingat bahwa puluhan pengunjuk rasa lari dan bersembunyi di klinik yang dikelola gereja tempat dia bekerja ketika petugas keamanan memukuli, mengejar, dan menangkap mereka.
“Ketika saya melihat situasi itu, saya merasa ini seperti zona perang,” katanya.
Dia juga dipukul di kaki dan dada tetapi hanya mengalami luka ringan.
Suster Rose adalah salah satu biarawati yang berdiri di depan klinik dan menunjukkan solidaritas dengan para pengunjuk rasa dengan memegang spanduk bertuliskan “Keadilan dan demokrasi akan menang” saat pengunjuk rasa anti-kudeta bergerak di jalan-jalan.
Selain itu, ia juga ikut serta dalam pawai di Myitkyina bersama dengan para imam, umat awam, dan biarawati lainnya untuk berdoa bagi perdamaian.
Biarawati itu mengatakan dia merasa sangat sedih dan menangis ketika melihat gambar pasukan keamanan dengan keras menindak protes damai di beberapa kota.
“Saya seorang biarawati Katolik tetapi saya juga warga negara Myanmar, jadi saya memiliki perasaan yang sama dengan orang-orang Myanmar,” katanya.
“Saya selalu berpikir tentang bagaimana saya bisa membantu rakyat Myanmar.”
Sister Rose menekankan bahwa orang-orang dari semua lapisan masyarakat, agama dan etnis perlu berjalan bahu-membahu untuk mencapai tujuan demokrasi.
“Saya yakin kami akan mencapai tujuan kami melalui ketekunan meskipun perjalanannya berat dan menghadapi lebih banyak pertumpahan darah,” katanya.
Foto Suster Rose yang dibagikan di media sosial telah menarik simpati banyak pihak, termasuk jurnalis, kelompok hak asasi dan mantan utusan hak asasi PBB, Yanghee Lee, yang memuji keberaniannya.
Joseph Kung Za Hmung, editor Gloria News Journal, sebuah media online Katolik di Myanmar menyatakan, tindakan Suster Rose dan tanggapan polisi yang berhenti setelah melihat permohonan suster itu telah mengejutkan banyak orang,.
Ia menggambarkan tindakan biarawati itu sebagai teladan bagi para pemimpin gereja, seperti uskup dan imana “untuk keluar dari zona nyaman mereka dan mengikuti teladan keberaniannya.”
Komentar